Tantangan Manajemen Generasi Kedua/Ketiga

 Akhir tahun 1999 aku mendapatkan kesempatan untuk ikut rapat dalam sebuah perusahaan multinasional. Banyak teman dari bidang usaha dan aku mewakili bidang usahaku. Pada acara tersebut, ada sambutan Kepala BPSDM dan juga salah seorang owner serta pendiri perusahaan tersebut yang membekas dalam pikiranku, walaupun aku sudah tidak bersama mereka lagi saat ini., yaitu 1) tentang banyaknya kegagalan generasi kedua/ketiga dalam melajutkan bisnis, dan 2) tentang perkembangan e-commerce yang sangat pesat di Amerika. Saat itu umurku sekitar 31 tahun. Sehingga petuah dari Boss itu belum sepenuhnya menjadi pemikiran mendalam. Hal itu dikarenakan sibuk dengan pencapaian target kerja yang diberikan manajemen kepada kami.

Seiring waktu berjalan, petuah Boss ku dulu: sekarang sudah menjadi kenyataan di tahun 2025 ini. Banyak perusahaan atau lembaga lainnya yang sisa kenangan setelah ditinggal pendirinya. Yang kedua,  perkembangan e-commerce yang sangat pesat. Segala sesuatunya berbasis internet. 

Tulisan disini, hanya ingin mengupas tentang Tantangan Manajemen Generasi Kedua yang mereka hadapi saat ini. Inilah hasil artikel yang kami rangkum dari AI dan internet:

Tantangan manajemen generasi kedua, khususnya bisnis keluarga, meliputi penerusan kepemimpinan yang tidak tepat, kurangnya minat dan passion penerus, campur tangan orang tua (generasi pertama), kesulitan mentransfer pengetahuan tidak tertulis, dan perbedaan cara pandang antara generasiSelain itu, tantangan juga muncul dari perbedaan budaya kerja dan harapan antar generasi di dunia kerja, yang memerlukan adaptasi gaya kepemimpinan serta penggunaan teknologi yang tepat. 
Tantangan Umum dalam Bisnis Keluarga Generasi Kedua 
  • Penerusan Kepemimpinan: 
    Sulit menemukan kandidat penerus yang cocok, baik dari sisi minat, passion, maupun kemampuan.
  • Transfer Pengetahuan: 
    Pengetahuan dan pengalaman pendiri sering kali tidak tertulis dan hanya berupa akumulasi, sehingga sulit untuk dialihkan ke generasi penerus.
  • Campur Tangan Orang Tua (Generation Shadow): 
    Pendiri perusahaan (generasi pertama) dapat mencampuri proses pengelolaan oleh generasi penerus, yang berpotensi menimbulkan konflik.
  • Kurangnya Pengajaran Nilai Kerja Keras: 
    Memberikan terlalu banyak fasilitas tanpa mengajarkan nilai dedikasi dan kerja keras dapat membuat penerus tidak siap mempertahankan bisnis.
  • Ketidaksesuaian antara Bisnis dan Keluarga: 
    Menemukan keseimbangan antara tuntutan bisnis dan kebutuhan keluarga sering kali menjadi tantangan tersendiri.
Tantangan dalam Lingkungan Kerja Multigenerasi
  • Kesalahpahaman Budaya: 
    Perbedaan gaya komunikasi, perspektif, dan cara penyelesaian konflik antar generasi dapat menyebabkan miskomunikasi. 
  • Perbedaan Harapan dan Nilai: 
    Generasi muda seperti Milenial dan Gen Z memiliki harapan berbeda dalam hal kerja, teknologi, dan keseimbangan kehidupan kerja dibandingkan generasi sebelumnya. 
  • Kebutuhan akan Fleksibilitas: 
    Generasi muda lebih membutuhkan opsi kerja fleksibel, seperti jam kerja yang dapat disesuaikan atau kerja jarak jauh. 
  • Pengakuan dan Umpan Balik: 
    Kebutuhan akan pengakuan yang sepadan atas pencapaian dan umpan balik konstruktif sangat penting untuk memotivasi karyawan dari generasi yang lebih muda. 
  • Adaptasi Gaya Kepemimpinan: 
    Pemimpin perlu menerapkan gaya kepemimpinan yang transformasional dan adaptif untuk memotivasi karyawan dari berbagai generasi, terutama Generasi Z.
Solusi yang Bisa Dilakukan
  • Membuat Program Pengembangan Karier yang Relevan: 
    Memberikan pelatihan, mentoring, dan peluang promosi yang sesuai dengan aspirasi tiap generasi.
  • Menerapkan Teknologi yang Tepat: 
    Menggunakan infrastruktur digital yang kuat dan platform komunikasi yang mendukung kolaborasi online. 
  • Mendorong Keterlibatan Karyawan: 
    Membangun budaya kerja yang inklusif, transparan, dan menghargai keragaman. 
  • Mendefinisikan Ulang Peran dan Tanggung Jawab: 
    Memastikan peran yang sesuai untuk setiap generasi agar kemampuan dan keterampilan mereka dapat dimanfaatkan secara optimal. 
  • Mengalihkan Pengetahuan secara Sistematis: 
    Menjaga keseimbangan antara pengalihan pengetahuan tidak tertulis dan menciptakan sistem untuk transfer pengetahuan yang lebih terstruktur. 
  • Mengapa Bisnis Pada Generasi Kedua dan Ketiga Sering Gagal?

  • 1. Kehilangan Semangat Kerja Keras
  • Generasi pertama, yang memulai bisnis dari nol, umumnya memiliki etos kerja yang luar biasa. Mereka tumbuh dalam kondisi yang sering kali penuh tantangan, dan kesuksesan mereka datang dari hasil kerja keras dan ketekunan. Mereka memahami bahwa untuk mencapai sesuatu yang besar, dibutuhkan perjuangan, pengorbanan, dan waktu. Namun, saat bisnis tersebut sudah mapan dan menjadi sukses, generasi kedua dan terutama generasi ketiga sering kali tidak merasakan perjuangan yang sama. Mereka tumbuh dalam kenyamanan, menerima semua fasilitas dan kemewahan yang tidak dinikmati oleh generasi sebelumnya. Akibatnya, mereka tidak memiliki semangat kerja keras dan ketekunan yang sama seperti pendahulunya. Rasa aman karena warisan kekayaan membuat mereka cenderung manja dan kurang menghargai nilai dari kerja keras yang diperlukan untuk menjaga bisnis tetap berkembang. 
  • 2. Pendidikan yang Tidak Relevan dengan Bisnis
  • Salah satu penyebab utama kegagalan bisnis keluarga adalah ketika anak-anak dari generasi penerus mendapatkan pendidikan yang tidak sesuai atau tidak relevan dengan bisnis keluarga. Misalnya, jika seorang ayah membangun bisnis besar di industri manufaktur, tetapi anak-anaknya memilih jalur pendidikan yang tidak berhubungan, seperti kedokteran atau seni, maka akan ada kesenjangan pengetahuan yang signifikan ketika tiba saatnya untuk mengambil alih bisnis keluarga. Ini bukan berarti pendidikan seni atau kedokteran tidak penting, tetapi dalam konteks bisnis keluarga, kurangnya keselarasan antara pendidikan anak-anak dan jenis bisnis yang mereka warisi sering kali menyebabkan masalah besar. Anak-anak tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup untuk menjalankan atau mengembangkan bisnis yang telah sukses. Akibatnya, mereka kesulitan untuk mengambil alih, dan sering kali bisnis tersebut stagnan atau bahkan hancur. 
  •  3. Kurangnya Pelibatan Sejak Dini 
  • Banyak bisnis keluarga keturunan Tionghoa di Indonesia yang berhasil bertahan selama beberapa generasi karena anak-anaknya dilibatkan dalam bisnis sejak dini. Sejak kecil, mereka diajarkan untuk membantu di toko, berurusan dengan pelanggan, atau memahami proses operasional. Hal ini membuat mereka terbiasa dengan bisnis dan mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bisnis keluarga berfungsi. Sebaliknya, dalam banyak keluarga lain, anak-anak sering kali dijauhkan dari aktivitas bisnis. Mereka tumbuh dengan lebih banyak fokus pada sekolah dan kehidupan pribadi, tanpa terlibat secara langsung dalam bisnis keluarga. Akibatnya, ketika tiba saatnya mereka harus mengambil alih, mereka tidak memiliki pengalaman praktis yang cukup dan merasa asing dengan bisnis tersebut. Kurangnya keterlibatan sejak dini ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan bisnis keluarga di generasi berikutnya. 
  •  4. Perbedaan Visi Antar Generasi 
  • Setiap generasi memiliki visi dan cara pandang yang berbeda terhadap bisnis. Generasi pertama mungkin memulai bisnis dengan tujuan sederhana, yaitu menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Generasi kedua mungkin melihat peluang untuk mengembangkan bisnis lebih besar dan lebih maju. Namun, ketika sampai pada generasi ketiga, visi ini sering kali kabur atau bahkan hilang. Generasi ketiga sering kali tumbuh dalam kenyamanan finansial yang telah dibangun oleh generasi sebelumnya. Mereka mungkin tidak memiliki dorongan yang sama untuk bekerja keras atau mengembangkan bisnis lebih jauh. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan memilih untuk tidak terlibat sama sekali dalam bisnis keluarga, lebih memilih untuk mengejar karier atau minat pribadi yang berbeda. Ketidaksepakatan visi ini sering kali menyebabkan konflik internal dalam keluarga dan akhirnya mempengaruhi keberlangsungan bisnis. 
  • 5. Manajemen yang Tidak Profesional 
  • Bisnis keluarga sering kali dikelola dengan cara yang lebih mengutamakan hubungan emosional daripada profesionalisme. Keputusan penting dalam bisnis kadang dibuat berdasarkan hubungan keluarga, bukan pada kompetensi atau kebutuhan bisnis. Misalnya, seorang anak mungkin diberi posisi penting dalam perusahaan hanya karena dia adalah anak dari pemilik, meskipun dia tidak memiliki keterampilan atau pengalaman yang memadai. Manajemen yang tidak profesional ini dapat mengakibatkan keputusan-keputusan yang salah dan kurang tepat, yang pada akhirnya merugikan bisnis. Ketika bisnis mulai kehilangan arah dan tidak dikelola dengan baik, peluang untuk bertahan di tengah persaingan yang ketat menjadi semakin kecil.

Post a Comment

0 Comments