Beberapa Faktor yang Menjadi Tantangan Profesi Guru - AsikBelajar.Com. Dalam menjalankan profesinya, guru mendapat tantantangan berat yang harus dilaluinya. Diantaranya:
(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar, karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas Internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina huhungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. (Karsidi, 2004).
Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang peran profesinya. Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistem pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan teknologi informasi, yang tepat (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
(2) Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Desentralisasi di Bidang Pendidikan
Desentralisasi, demokrasi, dan otonomi merupakan isu yang amat populer pada akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia sebagai dampak reformasi di segala bidang, khususnya pula bidang pemerintahan. Isu semacam itu bukanlah sesuatu yang baru, karena sebelumnya isu semacam itu telah lama dilontarkan bersamaan dengan keinginan mengganti sistem pemerintahan otoriter yang berkembang di Eropa Tengah dan Timur pada akhir tahun 1989 dan awal tahun 1990 (David Held dalam Miftah Thoha, 1998).
Perubahan penataan manajemen pemerintahan tentu berakibat pula pada penataan manajemen pendidikan. Dasar penataan itu adalah diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang itu disebutkan bahwa desentralisasi adalah suatu azas dan proses pembentukan Otonomi Daerah dan atau penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Sejalan dengan itu ditegaskan pula bahwa otonomi daerah adalah kewenangan dan kebebasan daerah otonom untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan masyarakat itu, ditegaskan pula bahwa daerah dibentuk berdasarkan kehendak masyarakat setempat dengan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan nasional dan berbagai syarat lain yang memungkinkan daerah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 7 ayat 1). Namun, kewenangan daerah otonom itu memiliki keterbatasan. Walaupun semua kewenangan diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdapat perkecualian kewenangan itu dalam bidang: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan kebijakan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan (pasal 10). UU No.32 Tahun 2004 di atas, sekaligus pula menegaskan bahwa bidang pendidikan merupakan bidang yang termasuk dalam garapan kewenangan daerah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah pusat yang dikenal dengan desentralisasi.
Bagi pembelajar dan pengkaji manajemen pendidikan, desentralisasi di bidang pendidikan bukanlah suatu kajian yang baru. Sistem persekolahan di Amerika Serikat oleh faktor kesejarahannya telah lama menerapkan sistem desentralisasi dengan pemberian kewenangan pada local school district (Holmes, 1985). Desentralisasi manajemen pendidikan mencakup delegasi dari kewenangan pusat (central authority) kepada unit-unit sistem sekolah lokal dalam tanggung jawab fungsional dan pengambilan keputusan. Dalam sistem manajemen semacam itu dijumpai dua jenis eksekutif, yaitu individual school executive dan administrative district executive. Di hampir semua negara bagian, tanggung jawab organisasional dan administratif didelegasikan kepada local school district (Morphet dkk., 1982). Tentunya kita dapat meniru model desentralisasi yang diterapkan dalam sistem persekolahan di Amerika Serikat itu, yang lebih dikenal dengan model: school site management (Guthrie, 1991). Namun, hal menarik yang merupakan unsur penting dalam desentralisasi adalah diangkatnya peran dan keterlibatan masyarakat dalam fungsi: community control dan community participation (Morphet dkk., 1982) yang sejalan dengan pernyataan UU No.32 Tahun 2004 tentang aspirasi masyarakat.
(3) Desentralisasi di Bidang Pendidikan
Sistem sentralisasi atau desentralisasi dalam penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi langsung terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional, dan manajemen pendidikan. Bidang-bidang yang terkait langsung dengan sistem itu adalah kebijakan, pengawasan, mutu dan sumber dana pendidikan (Burhanuddin dkk., 1998).
Jika, desentralisasi mengandung makna pendelegasian wewenang, baik itu menyeluruh ataupun sebagian, maka desentralisasi di bidang pendidikan harus pula dipandang sebagai pendelegasian sebagian atau seluruh wewenang. Pendelegasian itu bisa berarti penyerahan wewenang dari pusat ke daerah, atau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau dari unit ke unit di bawahnya, termasuk pula dari pemerintah ke masyarakat. Salah satu wujud desentralisasi yang dimaksud adalah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan (Miftah Thoha, 1998). Namun, kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan merumuskan, menetapkan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yang jangkauannya bersifat nasional. Karena itu tidak seluruh kewenangan dapat didesentralisasikan (Miftah Thoha, 1998).
Walaupun pemerintah daerah memiliki otonomi untuk merumuskan, melaksanakan, bahkan mengevaluasi suatu kebijakan, maka disinilah letaknya peranan klarifikasi yang menetapkan berbagai aspek pendidikan yang dapat didelegasikan, yang pada penyelenggaraannya terlepas dari campur tangan pemberi wewenang atau delegasi. Walaupun undang-undang yang memberikan peluang untuk dilaksanakannya otonomi daerah atau desentralisasi di bidang pendidikan, namun masih diperlukan pengkajian dan pengaturan untuk mengurangi benturan pelaksanaan di lapangan. Karena itu, UU tersebut memerlukan peraturan pelaksanaan.
(4) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.
Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan peran serta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peran serta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan, bagi dirinya atau kelompoknya. (Karsidi, 2004).
Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.
Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standar-standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya non sekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.
Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara seperti itu, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan akan menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.
(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar, karena banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah dapat cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep tentang sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber belajar lain terutama fasilitas Internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak dapat tergantikan, misalnya hubungan guru-murid dalam fungsi mengembangkan kepribadian atau membina huhungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. (Karsidi, 2004).
Inilah tantangan profesi guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang peran profesinya. Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistem pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan teknologi informasi, yang tepat (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
(2) Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Desentralisasi di Bidang Pendidikan
Desentralisasi, demokrasi, dan otonomi merupakan isu yang amat populer pada akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia sebagai dampak reformasi di segala bidang, khususnya pula bidang pemerintahan. Isu semacam itu bukanlah sesuatu yang baru, karena sebelumnya isu semacam itu telah lama dilontarkan bersamaan dengan keinginan mengganti sistem pemerintahan otoriter yang berkembang di Eropa Tengah dan Timur pada akhir tahun 1989 dan awal tahun 1990 (David Held dalam Miftah Thoha, 1998).
Perubahan penataan manajemen pemerintahan tentu berakibat pula pada penataan manajemen pendidikan. Dasar penataan itu adalah diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang itu disebutkan bahwa desentralisasi adalah suatu azas dan proses pembentukan Otonomi Daerah dan atau penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Sejalan dengan itu ditegaskan pula bahwa otonomi daerah adalah kewenangan dan kebebasan daerah otonom untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan masyarakat itu, ditegaskan pula bahwa daerah dibentuk berdasarkan kehendak masyarakat setempat dengan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan nasional dan berbagai syarat lain yang memungkinkan daerah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 7 ayat 1). Namun, kewenangan daerah otonom itu memiliki keterbatasan. Walaupun semua kewenangan diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdapat perkecualian kewenangan itu dalam bidang: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan kebijakan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan (pasal 10). UU No.32 Tahun 2004 di atas, sekaligus pula menegaskan bahwa bidang pendidikan merupakan bidang yang termasuk dalam garapan kewenangan daerah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah pusat yang dikenal dengan desentralisasi.
Bagi pembelajar dan pengkaji manajemen pendidikan, desentralisasi di bidang pendidikan bukanlah suatu kajian yang baru. Sistem persekolahan di Amerika Serikat oleh faktor kesejarahannya telah lama menerapkan sistem desentralisasi dengan pemberian kewenangan pada local school district (Holmes, 1985). Desentralisasi manajemen pendidikan mencakup delegasi dari kewenangan pusat (central authority) kepada unit-unit sistem sekolah lokal dalam tanggung jawab fungsional dan pengambilan keputusan. Dalam sistem manajemen semacam itu dijumpai dua jenis eksekutif, yaitu individual school executive dan administrative district executive. Di hampir semua negara bagian, tanggung jawab organisasional dan administratif didelegasikan kepada local school district (Morphet dkk., 1982). Tentunya kita dapat meniru model desentralisasi yang diterapkan dalam sistem persekolahan di Amerika Serikat itu, yang lebih dikenal dengan model: school site management (Guthrie, 1991). Namun, hal menarik yang merupakan unsur penting dalam desentralisasi adalah diangkatnya peran dan keterlibatan masyarakat dalam fungsi: community control dan community participation (Morphet dkk., 1982) yang sejalan dengan pernyataan UU No.32 Tahun 2004 tentang aspirasi masyarakat.
(3) Desentralisasi di Bidang Pendidikan
Sistem sentralisasi atau desentralisasi dalam penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi langsung terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional, dan manajemen pendidikan. Bidang-bidang yang terkait langsung dengan sistem itu adalah kebijakan, pengawasan, mutu dan sumber dana pendidikan (Burhanuddin dkk., 1998).
Jika, desentralisasi mengandung makna pendelegasian wewenang, baik itu menyeluruh ataupun sebagian, maka desentralisasi di bidang pendidikan harus pula dipandang sebagai pendelegasian sebagian atau seluruh wewenang. Pendelegasian itu bisa berarti penyerahan wewenang dari pusat ke daerah, atau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau dari unit ke unit di bawahnya, termasuk pula dari pemerintah ke masyarakat. Salah satu wujud desentralisasi yang dimaksud adalah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan (Miftah Thoha, 1998). Namun, kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan merumuskan, menetapkan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yang jangkauannya bersifat nasional. Karena itu tidak seluruh kewenangan dapat didesentralisasikan (Miftah Thoha, 1998).
Walaupun pemerintah daerah memiliki otonomi untuk merumuskan, melaksanakan, bahkan mengevaluasi suatu kebijakan, maka disinilah letaknya peranan klarifikasi yang menetapkan berbagai aspek pendidikan yang dapat didelegasikan, yang pada penyelenggaraannya terlepas dari campur tangan pemberi wewenang atau delegasi. Walaupun undang-undang yang memberikan peluang untuk dilaksanakannya otonomi daerah atau desentralisasi di bidang pendidikan, namun masih diperlukan pengkajian dan pengaturan untuk mengurangi benturan pelaksanaan di lapangan. Karena itu, UU tersebut memerlukan peraturan pelaksanaan.
(4) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.
Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan peran serta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peran serta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan, bagi dirinya atau kelompoknya. (Karsidi, 2004).
Desentralisasi adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke daerah sehingga daerah dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor penggerak memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.
Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standar-standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya non sekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.
Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara seperti itu, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan akan menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.
0 Comments
Berikan Komentar Terbaik Anda Disini [NO SPAM, SARA n PORN]. Terima Kasih