Humanisme Religius

Humanisme Religius
Dalam keseluruhan sejarah Barat, selalu terjadu ketegangan yang dinamis antara supernatural dan naturalisme.  Sekalipun demikian, Darwin dipandang sebagai pendorong utama Budaya Barat menuju definisi naturalistik manusia dan budaya (Karier, 1986).  Darwin (1963) memiliki teori tentang seleksi alam (natural selection) atau the survival of the fittest, yang disuarakan melalui "The Origin of Species".  Menurut teori ini, manusia dapat mempertahankan dirinya karena mampu melawan kekuatan (power) seleksi alam (natural selection).  Hal ini berarti siapa yang kuat dalam mengatasi proses seleksi tersebut, dia yang akan berhasil dalam mempertahankan eksistensinya (the survival of the fittest).  Bersamaan dengan kecenderungan tersebut, di Eropa pada awal ke-20 dan Amerika pada pertengahan abad ke-20, terjadi penurunan kunci tertentu gagasan "pencerahan" dengan mengabaikan keyakinan kepada Tuhan dan juga keyakinan pada diri sendiri.  Dalam konteks terjadinya disilusi ini, juga bangkit berbagai-bagai penegasan kembali nilai-nilai keagamaan, yaitu neo-ortodoksi dan neo-Thomisme (Karier, 1986).  Sementara neo-ortodoksi dari Karl Barth, Reinhold Niebuhr, dan Paul Tillich diangkat dari landasan eksistensialisme, Thomisme dari Jacques Maritian jelas merupakan rekontruksi dari sintesis Thomas Aquinas antara nasib dan penalaran, antara supernaturalisme dan naturalisme.

Miritian percaya bahwa terdapat kemungkinan mengembangkan keadaan dunia sebagai peradaban keagamaan murni.  Akan tetapi, ia juga mempertahankan gagasan tentang kemungkinan manusia menerapkan hukum-hukum alam melalui penggunaan penalaran alam, sebagaimana yang disarankan oleh Aquinas.

Sumber:
Sohandji, Ahmad.  2012. Manusia, Teknologi, Dan Pendidikan Menuju Peradaban Baru.  Malang: Universitas Negeri Malang. (hal.13)

Post a Comment

0 Comments