AsikBelajar.Com | Untuk bagaimana mengenali pemimpin transformasional dari pola pikirnya yang merupakan aktivitas abstrak dalam diri manusia? Pola pikir yang dikembangkan pemimpin transformasional tersebut bisa dijadikan tolok ukur untuk mengindikasikan adanya komitmen yang tinggi terhadap organisasi pendidikan. Pada kerangka ini pemimpin transformasional memiliki delapan ciri pola pikir yang bisa dilihat sebagai aktivitas integritas kepemimpinannya dalam memajukan organisasi pendidikan, yaitu:
intellectualfair-mindednes, intellectual humanity, intellectual courage, intellectual empathy, intellectual integrity, intellectual perseverance, intellectual autonomy, dan intellectual reflective. (Suryanto, 2007 :189)
Walaupun delapan ciri pola pikir tersebut identik dalam kepemimpinan transformasional, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kepemimpinan transaksional. Artinya, dalam kepemimpinan transaksional pada fakta riilnya tidak hanya melibatkan pertukaran sebatas bersifat kebutuhan bersifat biologis-fisiologis an sich, namun juga melibatkan nilai-nilai yang relevan walaupun sebatas proses pertukaran (exchange process) yang tidak langsung menyentuh pada substansi perubahan yang dikehendaki dalam organisasi pendidikan. Aspek ini yang kemudian membedakan secara diametral dengan kepemimpinan transformasional yang pada aktivitasnya lebih menukik untuk melakukan transformasi nilai dan aspek lain dalam organisasi pendidikan.
Meski ada perbedaan esensial antara kepemimpinan transaksional dengan transformasional, konstruksi perilakunya tidak saling menaiikkan (mutually exclusive) yang mengarah pada pembiaran perilaku kepemimpinan yang tidak cocok. Perilaku yang ditampilkan oleh sosok pemimpin transaksional dan transformasional dalam organisasi pendidikan adakalanya dibedakan bukan atas dasar tujuan yang dikehendaki, melainkan pada kontinuitas perilaku, di mana yang satu cenderung mengedepankan transaksi, sedangkan kepemimpinan yang lain cenderung ke arah transformasi dalam organisasi pendidikan. Akan tetapi, dua entitas perilaku kepemimpinan ini bisa dikombinasikan menjadi suatu perilaku kepemimpinan yang integral yang lazim disebut sebagai Full Range Leadership Model. Persoalan esensialnya sangat mungkin bukan pada aspek kepemimpinan transaksional dan transformasional itu bersifat saling mengisi (mutually inclusive) atau saling menafikkan (mutually exclusive), melainkan gaya kepemimpinan itu sangat dipengaruhi oleh situasi, sehingga tampilannya lebih berupa sebuah kontinum atau bersifat kontigensi ketimbang dualisme-dikotomis. (Danim, 2005:59)
Oleh sebab itu, pola pikir yang ada dalam kepemimpinan transformasional tersebut bisa juga dikembangkan oleh kepemimpinan transaksional, sehingga menjadi keterpaduan kontigensi antara dua entitas kepemimpinan tersebut. oleh sebab itu, fakta “kemungkinan” bisa untuk membuka ruang pola pikir ini menjadi bagian dalam tipe kepemimpinan transaksional. Terlepas dari hal ini, untuk aspek pertama yaitu intellectual fair-mindednes, pemimpin transformasional dalam mengutarakan pandangan-pandangan atau gagasan-gagasan serta ide-ide konstruktif terhadap komponen organisasi pendidikan mempunyai kemampuan untuk melihat cara berpikir orang lain yang dihadapinya dengan tidak memaksakan posisi orang lain seperti posisi dengan kapasitas seperti dirinya (Rock, 2007:17). Artinya, pemimpin transformasional mempunyai kepekaan untuk memosisikan dirinya seperti pandangan komponen organisasi pendidikan, dengan kemampuan ini ia dapat merasakan keinginan dan potensi komponen organisasi pendidikan secara baik, tepat, dan benar (Fisher dalam Trimo, 1986:231).
Aspek memahami posisi dan kapasitas komponen organisasi pendidikan di luar dirinya membutuhkan kapasitas strategis berbasis pada konseptualisasi holistik tentang perubahan organisasi dan inovasi ke depan atas visi organisasi pendidikan sebagai sentral dari program organisasi. Mobilisasi ini yang berimplikasi pada pola kepemimpinan transformasional untuk berjuang dalam memperlakukan semua sudut pandangnya sama adil di antara semua komponen organisasi pendidikan. Ia menyadari, pada kenyataannya orang sering mempunyai praduga terhadap orang lain. Praduga ini kemudian menempatkan posisi orang lain sebagai menyenangkan karena cocok dengan kategori internal penilai tersebut (Suryanto, 2007:192). praduga yang demikian menjadi hal yang kontraproduktif dengan perilaku kepemimpinan transformasional yang menginginkan transformasi dalam organisasi pendidikan.
Akan tetapi, yang perlu menjadi catatan dalam konteks ini adalah kaitannya dengan posisi pemimpin transformasional yang berada dalam kategori pemimpin yang adil dengan cara pandang yang ada untuk mencapai derajat sama dan adil serta merata antara komponen organisasi pendidikan.
Maka ia tidak serta-merta berada dalam posisi yang memiliki netralitas dengan tidak mempunyai ketegasan atau ragu-ragu, kenyataannya ia memiliki kecenderungan ke arah yang demikian. Akan tetapi, cenderung tersebut dapat diminimalisir dengan kepercayaan diri pada kemampuan dirinya serta kemantapan visi organisasi pendidikan dalam menentukan cara pandang mana yang tepat untuk kemudian mengambil langkah dalam menyelesaikan.
Sedangkan untuk intellectual humanity merupakan pola pikir yang berupa kesadaran yang berada pada diri seorang pemimpin yang memiliki pandangan kesederajatan antara dirinya dengan komponen organisasi pendidikan lainnya. Artinya, ia tidak memiliki pandangan superioritas terhadap dirinya atas bawahan di organisasi pendidikan, bahkan menariknya ia memiliki keyakinan bahwa antara dirinya sebagai pemimpin dengan komponen organisasi pendidikan sebagai bawahan merupakan entitas yang sama dengan kapasitas dan potensi yang berbeda-beda, namun memiliki dasar gagasan dan ide yang sama-sama bisa untuk diterima oleh seluruh komponen organisasi pendidikan.
Kondisi tersebut muncul seiring dengan kapasitas diri pemimpin transformasional yang sangat menyadari tentang fakta dirinya yang sangat terbatas aspek pengetahuannya. Ia sadar, ia sering jatuh ke dalam praduga, bias dan pandangan diri yang sempit. Oleh karena itu, ia tidak akan mengklaim dirinya serba tahu. Itu bukan berarti dia bodoh, pasif dan bersifat menyerah. Ia menunjukkan dirinya tidak sombong secara intelektual (Suryanto, 2007:196). Berarti secara tidak langsung pula, pemimpin transformasional memberikan suri keteladanan yang baik terhadap komponen organisasi pendidikan untuk tidak menunjukkan kesombongan dan keangkuhan dalam berkerja untuk mencapai tujuan organisasi. Konklusinya, kepemimpinan dan keteladanan yang baik sangat diperlukan dalam mengarahkan organisasi pendidikan ke arah yang benar dan efektif dengan landasan kesetaraan.
Pola ini, di sisi yang lain, mengindikasikan bahwa kepemimpinan merupakan pohon organisasi yang di dalamnya perlu ada jalinan kerja sama yang sama rata antar komponen organisasi pendidikan termasuk pemimpin. Dalam Leader-Member Exchange Theory dinyatakan bahwa leadership is the relationship which connects individuals so they experience themselves to be part of an extended network of people working together in some way (Ladkin, 2010:56). Hal ini berarti, rasa kebersamaan atau menjadi bagian dari kelompok tersebut merupakan substansi kinerja kepemimpinan khususnya dalam membangun jaringan pada kerangka internalisasi organisasi pendidikan. Hal ini tidak akan tumbuh ketika pemimpin tidak memengaruhi komponen organisasi pendidikan untuk membangun kebersamaan atau kerja sama berbasis kesetaraan antar komponen organisasi tersebut.
Meskipun demikian, pemimpin transformasional yang memiliki pola pikir intellectual humanity tidak akan mengurangi kepercayaan dirinya untuk bisa memimpin, mendorong dan mentransformasi organisasi pendidikan dengan baik dan berhasil. Sebab bagaimanapun juga ia bertanggung jawab terhadap keberhasilan organisasi pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Artinya, seorang pemimpin mempunyai kewenangan dan “kekuasaan” tertinggi dalam penyelenggaraan kegiatan organisasi (Danim dkk, 2009:51). Tidak hanya itu, dalam diri pemimpin transformasional tumbuh dan berkembang kepercayaan dirinya yang tinggi tidak lepas dari ide-ide besarnya; dan ia juga mempunyai keyakinan tinggi bahwa ia mampu mewujudkan Visi tersebut bersama orang lain.
Intellectual courage pada diri pemimpin transformasional merupakan pola pikir yang berupa keberanian seorang pemimpin untuk mengutarakan ide dan gagasannya tanpa takut ada kritik, ketidakterimaan, ketidaksesuaian, atau bahkan ada revisi terhadap ide dan gagasannya tersebut. Keberanian ini terutama diperlihatkan pada penyampaian visi organisasi pendidikan meskipun pada tingkatan mikro. Dalam pandangan pemimpin transformasional, visi merupakan gambaran tentang masa depan organisasi pendidikan dan di dalamnya juga terkandung makna tentang apa yang perlu dikreasi oleh manusia organisasional pada masa depan itu. Artinya, pemimpin transformasional melakukan penjabaran visi dengan penjelasan yang sangat rigid tentang Visi tersebut. Pada aspek ini yang perlu dilakukan adalah pemikiran visi yang oleh David Rock dirinci dalam formulasi vision thinking is about the “why” or “what. ” Why do you want to do this project? What are you trying to achieve? What’s your goal here? Having a clear vision is about knowing What your goal or objective is in any given conversation or project (Rock, 2007:68-69).
Sumber:
Setiawan, Agus dkk. 2013. Transformasional Leadership (Ilustrasi di Bidang Organisasi Pendidikan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 187-191.
Lanjut ke #Bagian 2 Klik Disini
Leave a Reply