AsikBelajar.Com | Salah satu hikmah dalam mempelajari perjalanan Isra Miraj Rasulullah SAW bagi penulis adalah belajar memahami kedudukan alam dunia di dalam alam akhirat. Dulu, penulis mempunyai pandangan dengan pikiran begini: Kita akan menuju akhirat apabila kita mati dan dibangkitkan, lalu berjalan menuju suatu tempat yang bernama akhirat. Namun setelah membaca buku karya Agus Mustofa berjudul “WORMHOLE”, pandangan penulis berubah. Ternyata, alam dunia adalah bagian dari alam akhirat. Untuk memahaminya, penulis mengutip artikel yang sesuai judul di atas karangan tersebut pada bagian berjudul “Keindahan Yang Tiada Terperi”, seperti di bawah ini:
BERBICARA surga dalam konteks akhirat adalah berbicara tentang suasana yang tiada tara. Sesungguhnyalah tidak ada kata-kata yang bisa mewadahinya. Namun, bukan berarti kita lantas tidak bisa berbicara apa pun tentangnya. Karena, dengan pendekatan tertentu kita bisa ‘mencicipi’ keindahan tiada tara itu dalam skala duniawi.
Suatu ketika, Rasulullah ditanya oleh para sahabat, bagaimanakah perbandingan antara #29
dunia dan akhirat. Rasululah memberikan jawaban yang mengindikasikan betapa tiada berhingganya akhirat itu dibandingkan dengan dunia. Bukan hanya kondisi fisik atau kuantitasnya, melainkan juga kualitasnya.
Dunia ini dibanding akhirat ibarat seseorang yang mencelupkan jarinya ke samudera. Air yong tersisa di jarinya ketika diangkat itulah dunia. (Sedangkan samudera itulah akhirat).
Jadi, betapa dahsyatnya perbandingan antara dunia dengan akhirat dimana surga yang sesungguhnya itu berada. Ada ungkapan yang harus kita cermati: air di ujung jari adalah dunia, sedangkan air samudera adalah akhirat.
Ada dua makna yang terkandung di dalamnya. Makna pertama, karena setetes air adalah bagian dari air samudera, maka dunia ini sesungguhnya adalah bagian dari akhirat. Sedangkan makna yang kedua, menggambarkan alam akhirat memiliki luasan tak berhingga kali dibandingkan dunia, sebagaimana perbandingan setetes air di ujung jari dengan kelimpahan air yang menutupi seluruh permukaan Bumi.
Kesimpulan ini memperoleh pijakan dari ayat suci Al Qur’an maupun ilmu Astronomi mutakhir. Dari Al Qur’an kita memperoleh informasi bahwa alam akhirat itu sebenarnya memang sudah ada. Buktinya, Rasulullah sudah melihatnya belasan abad yang lalu, saat beliau mi’raj, berada di Sidratul Muntaha. #30
Artinya, dunia dan akhirat sesungguhnya sudah ada dan berjalan seiring sejak diciptakan. Dimana dunia, dan dimana akhirat? Dunia ada di langit pertama, sedangkan akhirat berada di langit tertinggi, yakni langit ketujuh.
Secara ilmiah kita juga memperoleh pijakan dari teori-teori kosmologi mutakhir bahwa sangat boleh jadi alam semesta ini memiliki alam-alam paralel secara dimensional. Yakni, seperti bola kecil di dalam bola lebih besar di dalam bola lebih besar, sampai tujuh lapisan dimensional. ltulah yang oleh Al Qur’an disebut sebagai sab’a samawat – langit yang tujuh.
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Perhatikanlah, ayat di atas menyebutkan bahwa yang tujuh itu bukan hanya langit melainkan juga Bumi. Ini adalah informasi yang sangat menarik untuk dicermati. Setidak-tidaknya ada #31
dua hal yang mesti dibahas lebih lanjut terkait ayat tersebut.
Pembahasan pertama, karena yang dise. but tujuh itu adalah langit dan Bumi, maka kita memperoleh makna bahwa yang dimaksudkan ayat tersebut adalah alam semesta secara keseluruhan. Bukan hanya langitnya, atau atmosfernya, atau pun lintasan orbital dari planet-planet di tatasurya.
Untuk diketahui, selain menyebut angkasa luar dengan istilah sama’ (tunggal) dan samawat (jamak), Al Qur’an juga menggunakan istilah yang sama untuk menggambarkan atmosfer. Al Qur’an pun menyebut atmosfer sebagai tujuh lapisan langit – sab’a samawat. Informasi itu, diantaranya ada di ayat berikut ini.
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit (sama’), lalu dijadikan-Nya tujuh langit (sab’a samawat). Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Langit yang diceritakan dalam ayat di atas adalah langit atmosfer. Kenapa tidak dimaknai sebagai langit luar angkasa? Ada dua alasan. #32
Alasan pertama, informasi tentang penciptaan fangit itu ditempatkan setelah penciptaan Bumi: “Dia berkehendak menciptakan langit, setelah Dia menjadikan segala yang ada di muka Bumi untuk manusia’’.
Dan yang menarik, awalnya Allah menyebutnya dengan menggunakan sebutan tunggal samo’ – langit, lalu menjadikan sama’ itu menjadi tujuh lapisan – sab’a samawat. Ini menunjukkan bahwa langit yang berlapis-lapis itu tak lain adalah satu kesatuan entitas yang sangat dekat dengan bumi, yaitu: atmosfer. Bukan langit angkasa luar nun jauh disana.
Alasan kedua, cerita langit di ayat 29 surat Al Bagarah ini sebenarnya terkait dengan cerita langit di ayat-ayat sebelumnya, berikut ini.
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit (sama’) sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena ity janganiah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. #33
Di ayat tersebut Allah menceritakan bahwa langit yang dimaksud itu adalah langit yang melindungi planet Bumi bak atap, dimana darinya Allah menurunkan air hujan. Maka, tidak ada makna lain, langit tersebut adalah atmosfer. Memang, atmosfer memiliki fungsi atap yang melindungi Bumi dari berbagai bahaya yang datang dari luar angkasa, seperti sinar ultraviolet yang berlebihan dan bebatuan angkasa yang meluncur masuk ke atmosfer bumi. Apalagi, ayat itu juga menyebutkan, bahwa langit yang dimaksud adalah sumber turunnya hujan. Itulah awan yang ada di atmosfer. Bukan luar angkasa.
Namun, karena QS. Ath Thalag (65):12 itu menyebut tujuh langit dan tujuh Bumi, maka yang dimaksudkan adalah alam semesta. Sehingga, ungkapan dalam ayat ini sinkron dengan firman Allah di dalam QS. Ali Imran (3): 133 yang mengatakan luasnya surga adalah seluas langit dan bumi. Alias seluas alam semesta.
Alam semesta yang mana? Yang langit pertama alias dunia saja, ataukah yang langit ketujuh beserta seluruh isinya? Tentu saja, yang langit ketujuh – dimana akhirat berada – dengan segala isinya, termasuk dunia – yang berada di langit pertama – sebagai alam terkecil…
Pembahasan kedua, surat Ath Thalaq 12 itu menjadi sangat menarik, dikarenakan juga menyebut Bumi seperti langit – ada tujuh. Tetap! menariknya, dengan tetap menggunakan istilah #34
ardhi yang tunggal. Ini berbeda dengan langit yang menggunakan perubahan bentuk dari istilah sama’ (tunggal) menjadi samawat (jamak).
Di dalam Al Qur’an saya memang belum menemukan bentuk jamak dari ardh (Bumi). Agaknya, Al Qur’an menghindari bentuk jamak al ardh untuk menegaskan bahwa sebenarnya planet Bumi yang disebut-sebut itu memang cuma satu – tidak ada duanya di alam semesta.
Lantas, bagaimana memahami kalimat waminal ardhi mitslahunna – dan seperti itu juga bumi – ada tujuh. Saya memahaminya begini, bahwa Bumi yang dimaksud itu memang tidak berjumlah tujuh buah. Hanya satu, akan tetapi ‘berwajah tujuh’ ketika dikaitkan dengan sudut pandang dimensional langit. Hal ini akan kita bahas lebih jauh ketika membahas tentang teori dimensi dari langit berlapis tujuh.
Namun secara ringkas, bisa digambarkan bahwa Bumi yang satu itu kelihatan berbeda-beda ketika dilihat dari langit pertama, langit kedua, ketiga, dan seterusnya sampai langit ketujuh. Ibarat kita melihat sebuah kursi dari samping kiri, kanan, atas, bawah, muka, belakang, tentu penampakannya berbeda-beda. Padahal kursi itu cuma satu saja.
ltulah sebabnya, tidak sebagaimana sebutan langit yang berubah dari as sama’ menjadi as Samawat, Bumi tidak mengalami perubahan bentuk kata, tetap sebagai al ardh. #35
Maka, kembali kepada pembahasan di bagian ini tentang perbandingan antara akhirat dan dunia, kita bisa menyimpulkan bahwa dunia adalah bagian yang tak terpisahkan dari struktur alam semesta berlapis tujuh. Ibarat bola di dalam bola di dalam bola di dalam bola sampai tujuh tingkat, dimana alam dunia adalah bola paling kecil sebagai langit pertama.
Bola dunia paling kecil itu berada di dalam bola langit kedua, di dalam bola langit ketiga, di dalam bola langit keempat, kelima, keenam, dan ketujuh. Dan bola paling besar di langit ketujuh itulah akhirat.
Secara sederhana kita lantas bisa membayangkan bahwa dunia adalah bagian yang tak terpisahkan dari akhirat, dimana surga berada. Dengan demikian, alam dunia berada di dalam surga karena menurut Al Qur’an luasnya surga itu adalah seluas langit dan bumi.
Apa konsekuensi dari pemahaman ini? Artinya, meskipun kita sedang berada di dunia, sebenarnya kita juga sudah berada di akhirat. Tetapi, kenapa belum bisa merasakan akhirat? Karena, kita masih terkungkung di ‘setetes air’, belum melebur ke ‘samudera luas’..! #36
Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Selamat memperingati Isra Mi’raj nabi Muhammad SAW.
Pustaka:
Mustofa, Agus. 2015. Wormhole: Jalan Pintas Menuju Surga. Surabaya: PADMA Press. Hal. 29 – 36.
Leave a Reply