AsikBelajar.Com | Ahli psikologi menekankan hubungan anak dengan orang yang merawatnya dan menganggap interaksi ini sebagai dasar utama untuk perkembangan emosi dan kognitif (Bowlby, 1969, Freud, 1964). Dulu para teoritikus berpendapat bahwa ibu merupakan orang yang perhatiannya amat penting bagi perasaan aman atau tidaknya bayi. Namun, selama dasawarsa terakhir ini para ahli menemukan bahwa ada pengaruh dari ayah, saudara kandung, dan perawat lain, serta temperamen bayi sendiri terhadap perkembangan sosial dan emosinya. Kebanyakan teoretikus juga menekankan peran kenikmatan (pleasure) dan nyeri (pain) dalam perkembangan perilaku. Mereka berasumsi bahwa manusia bermotivasi oleh keinginan untuk memperoleh kenikmatan dan menghindari nyeri. Akibatnya, anak tentunya, menyambut perlakuan perawat yang memberikan rasa nikmat. Bayi diperkirakan akan mengembangkan perasaan positif dan kelekatan yang erat pada orang yang sering menjadi sumber kenikmatan, baik karena orang tersebut menenangkan dan mengajak bermain ataupun karena mereka mengurangi rasa tidak nyaman yang ditimbulkan seperti rasa nyeri, dingin, rasa lapar atau tekanan psikologis.
Konsep Sigmund Freud tentang hubungan bayi dengan orang tuanya didasari oleh pandangan ini. Frued berpandangan bahwa bayi dilahirkan dengan naluri biologis yang menuntut kepuasan. Kebutuhan anak. akan makanan, kehangatan, dan redanya nyeri menunjukkan “perjuangan untuk kenikmatan indrawi”. Freud memaparkan dasar biologis dari perjuangan ini sebagai sejenis energi, disebut libido. Freud melihat bahwa aktivitas, orang, benda tempat anak menginvestasikan energi libidonya berubah dengan cara yang dapat diramalkan bersamaan dengan bertambahnya usia. Freud beragumentasi bahwa selama kepuasan yang paling penting maka saat anak disusui dan dirawat, perhatian mereka, yang didapat dari energi libido, terfokus pada orang yang memberi rasa puas tersebut. Proses ini disebut kateksis oleh Freud. Ia menganggap bayi terus-menerus menginvestasikan energi libido pada orang yang merawatnya dan juga pada permukaan mulut, lidah, dan bibir karena permukaan-permukaan ini penting dalam penyusuan, Karena alasan ini, Freud menamakan masa bayi sebagai tahap oral. Frued menyatakan bahwa rasa puas yang terlalu banyak atau terlalu sedikit untuk kebutuhan oral anak dapat memperlambat kemajuan anak ke-dalam tahap perkembangan berikutnya; yaitu suatu fiksasi atau penolakan di dalam diri #9.76
anak untuk mengalihkan energi libido kepada serangkaian objek dan aktivitas baru yang mungkin terjadi. Freud mengajukan sebuah hipotesis yang berani bahwa fiksasi pada tahap oral, yang disebabkan pemuasan yang berlebihan atau yang tidak memadai, dapat memberikan kecenderungan pada orang dewasa ke arah gejala psikologis tertentu. Misalnya, bayi yang tidak cukup puas mungkin menjadi amat bergantung kepada orang lain.
Freud menyatakan bahwa daerah anal dan aktivitas yang melingkupi pengeluaran tinja (defecation) menjadi sumber kepuasan libido yang penting selama tahun kedua kehidupan. Oleh karena itu, interaksi dengan orang tua pada sosialisasi buang air mempunyai makna khusus. Freud menyebutkan tahap kedua perkembangan ini sebagai tahap anal. Walaupun teori tersebut didukung oleh teori ilmiah yang mantap, gagasan Freud mengenai perkembangan dini menyebar dengan cepat di Amerika Serikat dalam buku-buku teks mengenai perkembangan anak dan akhirnya dalam media populer lewat majalah, buku, sandiwara, dan film.
Teori-teori mutakhir yang berangkat dari teori Freud tetap mempertahankan asumsi dasar bahwa interaksi ibu dan anak mempunyai kualitas khusus yang diperlukan bagi perkembangan bayi. Namun teori-teori ini menekankan konsekuensi psikologis dari perawatan yang penuh kasih sayang, secara konsisten, dapat diandalkan, ketimbang fungsi biologis penyusuan dan buang air. Erik Erikson, misalnya mengemukakan bahwa peristiwa perkembangan yang kritis selama masa bayi adalah pemantapan rasa percaya pada orang lain. Bayi yang secara konsisten mendapatkan pengalaman perawatan yang memuaskan dapat melewati tahap perkembangan pertama tersebut dengan baik. Sedangkan yang tidak mengalami hal tersebut tidak mempunyai rasa percaya pada orang lain.
Pada tahun kedua, demikian ujar Erikson, anak mencoba menciptakan rasa otonomi dan kebebasan dari orang tuanya. Anak yang gagal memperoleh rasa otonomi mungkin rentan terhadap rasa malu dan meragukan kemampuannya untuk dapat berfungsi secara mandiri. Dalam membahas tahap-tahap ini dalam daur kehidupan manusia, Erikson mempertahankan esensi gagasan Freud mengenai fiksasi: ia yakin bahwa bila anak gagal melewati satu tahapan secara memuaskan maka pada tahap-tahap selanjutnya pun kemajuan si anak tidak akan berjalan mulus. Teori Erikson berbeda dengan Freud karena yang ditekankan Erikson adalah tahap Psikososial. #9.77
Sumber:
Aisyah, Siti. 2008. Materi Pokok Perkembangan dan Konsep dan Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional. Hal. 9.76 – 9.77.
Leave a Reply