AsikBelajar.Com |Sementara itu, menurut Wahab (2007) dan DITNAGA-DIKTI (2010), hambatan atau permasalahan dalam rangka menegakkan sistem pendidikan nasional, dapat diidentifikasi ada beberapa hambatan dan tantangan yang perlu dihadapi.
a. Personalia Pengelolaan dan Pengawasan Pendidikan
Profesionalisme pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan masih rendah (termasuk dalam permasalahan efisiensi pendidikan).
Pengelolaan atau birokrasi pendidikan masih menunjukkan efektivitas dan efisiensi yang belum menggembirakan yang diindikasikan dengan beberapa hal, di antaranya: penentuan pejabat di lingkungan pendidikan tidak selalu ber-track record baik di bidang pendidikan; penentuan kepala sekolah dan penempatannya masih kurang transparan, sehingga tidak selalu diperoleh the right man on the right place. Setelah penyelenggaraan pendidikan diotonomikan, ada kecenderungan bahwa penentuan para pejabat di lingkungan dinas pendidikan kurang begitu mempertimbangkan track-record-nya. Demikian pula dalam penentuan Kepala sekolah tidak jarang muatan politisnya lebih menonjol, sehingga berkonsekuensi logis terhadap rendahnya kemandirian kerja mereka. Hal yang juga sangat penting disadari, bahwa masih banyak pendidik belum memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagaimana yang diharapkan dalam Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD).
Sementara itu, sistem pengawasan penyelenggaraan pendidikan cenderung dilakukan oleh pengawas yang belum membanggakan. Penentuan pengawas seringkali tidak didasarkan pada kompetensi, melainkan karena usia. Sering kali penentuan pengawas hanya ditentukan oleh kepentingan untuk memperpanjang masa pensiun.
b. Kualifikasi dan Kompetensi Guru
Kualifikasi dan kompetensi guru masih under-qualified. Jika mengacu pada tuntutan undang-undang dan kualitas pendidikan yang diharapkan, mayoritas kualifikasi dan kompetensi guru masih jauh dari yang
seharusnya. Guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri- ciri tertentu, sebagaimana diamanahkan oleh UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan PP Standar Nasional Pendidikan (SNP). Menurut Suyanto (2007) dari ciri-ciri profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan). Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui sistem seleksi profesi.
Rendahnya kualitas guru Indonesia ditunjukkan dengan Hasil Uji Kompetensi Guru pada tahun 2012 terhadap 460.000 guru, dimana nilai rata-rata uji kompetensi guru adalah 44,5, jauh di bawah Standar yang diharapkan yaitu 70 (Baswedan, 2014). Kualifikasi dan kompetensi guru yang rendah menyebabkan proses pembelajaran dan pendidikan yang ada cenderung masih di bawah standar. Proses pembelajaran cenderung hanya menuntut low level thinking skills, misalnya lebih banyak menuntut hafalan. Proses pembelajaran lebih cenderung one-way trafic system dan kurang melibatkan peserta didik. Selain itu, dinamika sosial dan budaya yang terjadi dewasa ini berpengaruh secara berarti terhadap kemampuan, kesiapan dan komitmen peserta didik dalam belajar. Permasalahannya, kondisi ini belum sepenuhnya dijadikan landasan pijak guru dalam mengembangkan program dan proses pendidikan dan pembelajarannya, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kualitas pendidikan belum sepenuhnya menggembirakan, karena belum dapat menjamin kepuasan stakeholders utamanya.
c. Sertifikasi guru dan dosen
Program sertifikasi guru dan dosen juga menyisakan problem yang tidak sedikit. Bagi guru program ini mengakibatkan kesenjangan yang jelas antara guru yang sudah mendapatkan sertifikasi dengan yang belum. Di samping karena masalah gaji yang berbeda, ternyata prestis di antara guru yang professional dengan yang belum juga berbeda. Akibatnya adalah terjadi kinerja yang kurang maksimal di kalangan para guru yang belum profesional dengan alasan kurangnya gaji yang diterima dibanding dengan guru yang sudah profesional. Hal yang sama juga terjadi di kalangan dosen. Bahkan problem besar di kalangan dosen terkait dengan kebijakan ini adalah banyaknya dosen yang
profesional ini tidak mau melanjutkan studi ke jenjang berikutnya (Strata 3/program doktor) karena jika melanjutkan studi tunjangan sertifikasinya akan dihentikan. Namun demikian, tidak sedikit juga dosen yang mengambil keputusan tetap harus melanjutkan studi karena ada harapan untuk meraih kesejahteraan yang lebih baik lagi, yakni ketika pada akhirnya memperoleh jabatan guru besar yang mendapatkan tunjangan kehormatan di samping juga mendapatkan tunjangan sertifikasi (Marzuki, 2010).
Lihat ke halaman selanjutnya [Klik Disini]
Leave a Reply