AsikBelajar.Com | Dalam rangka melihat apa yang sebenarnya telah Piaget lakukan, marilah kita pertimbangkan suatu sudut pandang lain mengenai perkembangan kognitif, yaitu teori sosiokultural dari Lev Vygotsky. Ahli perkembangan dari Rusia ini adalah akademisi yang aktif pada tahun 1920 dan 1930-an ketika Piaget sedang merumuskan teorinya. Sayangnya, Vigotsky meninggal pada usia 38 sebelum pekerjaannya selesai. Akan tetapi, dia meninggalkan kita dengan banyak pemikiran. la menekankan bahwa (1) pertumbuhan kognitif muncul dalam konteks budaya sosial yang mempengaruhi bentuk yang diambilnya, dan (2) kemampuan kognitif anak yang paling penting akan berkembang dari interaksi sosial dengan orang tua, guru, dan orang-orang lain yang lebih kompeten.
1. Peranan Budaya dalam Perkembangan Intelektual
Vygotsy (1930-1935/1978) mengatakan bahwa bayi dilahirkan dengan sedikit fungsi mental awal yaitu perhatian, sensasi, persepsi, dan ingatan yang akhirnya diubah oleh budaya ke dalam proses mental yang lebih baru dan rumit yang ia sebut fungsi mental yang lebih tinggi. Kita ambil ”ingatan” sebagai contoh. Kemampuan awal mengingat anak dibatasi oleh keterbatasan biologis, yaitu terbatas pada imajinasi dan kesan yang dapat dihasilkan. Akan #5.21
tetapi, masing-masing budaya menyediakan perangkat kepada anak-anak untuk beradaptasi secara intelektual yang memungkinkan mereka menggunakan fungsi-fungsi dasar mental secara Iebih adaptif (lebih dapat menyesuaikan diri). Anak-anak pada masyarakat barat biasanya belajar mengingat lebih efisien dengan menggunakan catatan apa saja yang perlu diingat, sementara teman sebayanya pada masyarakat yang belum terpelajar mungkin telah mempelajari strategi mengingat lainnya, seperti menunjukan benda yang harus diingatnya dengan mengikatkan simpul tali atau mengikatkan tali di sekeliling jarinya untuk mengingatkannya melakukan tugas tertentu. Masyarakat meneruskan strategi mengingat dan perangkat budaya lain kepada anak, yaitu dengan mengajar anak bagaimana menggunakan jiwa mereka, singkatnya bagaimana berpikir. Oleh karena masing-masing budaya juga meneruskan kepercayaan dan nilai-nilai yang spesiflk maka masyarakat pada budaya tertentu juga mengajarkan kepada anak tentang apa yang harus dipikirkan.
Kesimpulannya, Vigotsky menyatakan bahwa kognisi manusia meskipun seseorang dalam isolasi, sifatnya tetap sosiokultural karena dipengaruhi oleh 1 kepercayaan, nilai-nilai, dan perlengkapan adaptasi intelektual yang diberikan kepada individu oleh budayanya. Oleh karena nilai-nilai dan perlengkapan intelektual ini secara dramatis bervariasi dari budaya ke budaya, Vygotsky meyakini bahwa baik pelajaran maupun isi dari perkembangan intelektual tidaklah seuniversal (berlaku sama di mana pun) yang diasumsikan oleh Piaget.
2. Keaslian Sosial dari Kompetensi Kognitif Awal
Vygotsky setuju dengan Piaget bahwa anak kecil adalah penjelajah yang selalu ingin tahu, yang secara aktif terlibat dalam belajar dan menemukan prinsip-prinsip baru. Akan tetapi, dia berpendapat bahwa penemuan yang dihasilkan karena inisiatif sendiri, seperti yang dikemukakan Piaget, hanya sedikit berkontribusi (menyumbang) pada perkembangan kognitif anak. Ia lebih memilih pentingnya kontribusi sosial pada perkembangan kognitif.
Menurut Vygotsky, beberapa penemuan penting yang dibuat anak muncul dalam konteks kerja sama atau kolaborasi atau dialog antara orang yang lebih ahli dengan mencontohkan kegiatan dan menyampaikan pelajaran secara verbal. Anak yang baru pertama kali mencari pemahaman pelajaran dari orang yang ahli tersebut akan menggunakan pengetahuan baru ini untuk #5.22
mengatur kinerjanya. Untuk menggambarkan peristiwa belajar seperti pandangan Vygotsky, marilah membayangkan cerita berikut ini.
Annie, seorang anak berusia 4 tahun, baru saja menerima puzzel pertamanya sebagai hadiah ulang tahun. Dia berusaha untuk mengerjakan puzzel tersebut, tetapi tidak berhasil hingga ayahnya datang, duduk disebelahnya, dan memberinya beberapa tips (cara). Dia menyarankan bahwa merupakan ide yang baik untuk meletakkan kepingan-kepingan puzzel di tiap-tiap sudut terlebih dahulu, lalu menunjuk salah satu bagian berwama merah muda di salah satu sudut dan mengatakan ”Ayo lihat kepingan merah muda lainnya!” Ketika Annie kelihatan frustrasi, ayahnya menempatkan dua keping puzzle yang saling cocok pada jarak yang berdekatan sehingga Annie menyadari hubungan kedua keping puzzle tersebut. Ketika Annie berhasil, ayahnya memberikan kata-kata dukungan yang dapat menyemangati Annie. Ketika Annie secara bertahap telah mulai memahaminya, ayahnya mundur menjauh dan membiarkan Annie menyelesaikan puzzel secara lebih mandiri.
3. Zone of Proximal Development (ZPD)
ZPD adalah istilah Vygotsky untuk serangkaian tugas yang terlalu rumit untuk dikuasai sendiri, tetapi dapat dikuasai dengan panduan dan dorongan dari orang yang lebih ahli. Bagaimana percakapan dalam suatu kerja sama mendorong pertumbuhan kognitif‘? Pertama, sesuai ilustrasi sebelumnya, Vygotsky mengatakan bahwa Annie dan ayahnya sedang menjalankan apa yang dia katakan Zona of Proximal Development, yaitu perbedaan antara apa yang dapat dicapai pembelajar secara mandiri dan apa yang dapat dicapainya dengan panduan dan dukungan/dorongan dari orang yang lebih ahli. Dalam zona (wilayah) ini instruksi yang sensitif seharusnya disampaikan dan pertumbuhan kognitif yang baru dapat diharapkan muncul. Annie secara jelas dapat menyelesaikan puzzle dengan pertolongan ayahnya dibandingkan tanpa pertolongan. Lebih penting lagi, dia akan meresapi teknik pemecahan masalah ini yang digunakannya dalam berkolaborasi dengan ayahnya dan pada akhimya akan digunakannya sendiri.
Salah satu bentuk dari kolaborasi sosial yang mendorong pertumbuhan kognitif adalah scaffolding (pijakan), yaitu kecenderungan dari orang yang lebih ahli untuk secara hati-hati menyesuaikan bantuan yang diberikannya #5.23
kepada situasi pembelajar yang baru sehingga pembelajar mendapat keuntungan dari bantuan tersebut dan meningkatkan pemahamannya tentang suatu masalah. Scafolding muncul bukan hanya dalam pendidikan formal, tetapi setiap saat dapat terjadi jika orang yang lebih ahli menyesuaikan bantuannya untuk memandu seseorang kepada tingkat kemampuan yang hampir sama dengannya. Perilaku ayah Annie, seperti pada contoh terdahulu menggambarkan bukan hanya ZPD, tetapi juga scaffolding.
4. Masa Belajar dalam Berpikir dan Partisipasi Terbimbing
Pada beberapa budaya, anak tidak belajar dengan pergi ke sekolah dengan anak lainnya, juga tidak belajar dari orang tuanya yang mengajarkan secara formal pelajaran tertentu seperti menenun dan berburu. Tetapi ia belajar melalui partisipasi yang terbimbing, yaitu secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang relevan dengan budayanya bersama orang yang lebih ahli yang menyediakan bantuan dan dorongan yang diperlukan (Rogoff, 1997, Rogof, eta], 1993). Partisipasi terbimbing adalah suatu ”masa belajar dalam berpikir” yang bersifat informal, di mana kognisi anak dibentuk pada saat ia ikut serta bersama orang dewasa dan teman yang ahli lainnya dalam tugas yang relevan dengan budayanya setiap hari, seperti menyiapkan makanan, mencari jejak sasaran, mencuci baju, bercocok tanam atau hanya bercakap-cakap tentang dunia di sekelilingnya. Barbara Rogoff meyakini bahwa pertumbuhan kognitif dibentuk sebanyak-banyaknya melalui transaksi informal orang dewasa dengan anak dari pada pengajaran yang lebih formal atau pengalaman belajar dalam pendidikan.
Ide dari ”masa belajar” atau ”panisipasi terbimbing” mungkin tampaknya masuk akal pada budaya, di mana anak terintegrasi lebih awal dalam kegiatan orang dewasa sehari-hari. Tetapi ide ini tidak berlaku untuk suatu budaya, seperti budaya barat misalnya, sebab banyak aspek perkembangan kognitif dalam budaya barat telah berpindah dari orang tua kepada pendidik profesional, yang pekerjaannya mengajarkan pengetahuan dan keahlian budaya yang penting kepada anak. Akan tetapi, dalam masyarakat modern, belajar lebih banyak muncul di rumah, terutama selama masa prasekolah. Pengalaman belajar di rumah ini akan menyiapkan anak untuk sekolah. #5.24
Sumber:
Aisyah, Siti. 2008. Materi Pokok Perkembangan dan Konsep dan Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional. Hal.5.21-5.24
Leave a Reply