Pendekatan ini juga telah menyebabkan para pendidik merefleksikan dan mengklarifikasi perhatian mereka terhadap pemikiran-pemikiran terdahulu berkaitan dengan ambiguitas tujuan-tujuan pendidikan. Diskusi-diskusi bersama masyarakat tentang tujuan pendidikan yang dianggap paling tepat, dijadikan ajang untuk meningkatkan validitas program pendidikan yang dilakukan. Dengan behitu, akuntabilitas dan legitimasi program yang sudah dirancang menjadi lebih kuat. Sebagai hasil dari perhatian berlebih para ahli terhadap pendekatan ini adalah berkembangnya tes (ujian) dan praktek-praktek pengukuran lainnya yang broadened unobtrusive and non paper and pencil evidence.
Disamping manfaat dan keungulan sebagaimana dipaparkan di atas, pendekatan ini juga mendapatkan beberapa kritik yang sekaligus meggambarkan sebagai kelembahan dari pendekatan tersebut. Beberapa kritik yang mengemuka adalah (Worten and Sander, 1987):
1) komponen penilaian kurang realistis ( lebih memfasilitasi pengukuran dan penilaian ketercapaian tujuan daripada menghasilkan pertimbangan-pertimbangan tentag kebenaran dan merit secara eksplisit)
2) kurangnya standar untuk memberi pertimbangan pentingnya diskrepansi yang nampak antara tujuan dan kinerja;
3) mengabaikan nilai (value) dari tujuan itu sendiri;
4) mengabaikan alternative penting yang harus dipertimbangkan dalam perencaaan suatu program pendidikan
5) mengabaikan transaksi yang terjadi selama proses atau aktifitas program yang dinilai
6) mengabaikan konteks dimana suatu penilaian dilakukan;
7) mengabaikan tujuan-tujuan penting lainnya diluar yang tujuan yag dirumuskan (termasuk tercapainya tujuan-tujuan yang tidak diharapkan);
8) omit fakta dari nilai suatu program tidak merefleksikan tujuan
9) mempromosikan penilaian yang linier dan tidak fleksibel
Dari kesembilan kelemahan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa kelemahan pendekatan penilaian berorientasi tujuan dapat menghasilkan suatu tunnel vision yang cenderung membatasi efektifitas dan potensi penilaian.
Untuk melihat lebih jauh kelemahan dan keterbatasan penilaian dengan pendekatan berorientasi tujuan, dibawah ini ada beberapa pertanyaan penting untuk direnungkan.
1) Siapa sesungguhnya yang menetapkan atau merumuskan tujuan pendidikan selama ini?
2) Apakah tujuan-tuuan pendidikan tersebut telah mencakup semua hal yang dianggap penting?
3) Apakah semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pendidikan sudah sepakat dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan tersebut?
4) Siapa yang menetapkan criteria keberhasilan atau ketercapaian/ ketidakercapaian tujuan tersebut?
5) Dan pertanyaan-pertanyaan kritis lain yang perlu dipertimbangkan agar penilaian dengan pendekatan ini tetap memiliki makna.
Kalau kita simak pertanyaan-pertanyaan di atas, nampaknya sumber kelemahan pendekatan penilaian yang berorientasi tujuan bukan terletak pada prosedur pelaksanaan penilaiannya sendiri, tetapi leih pada rancanan program yang akan dinilai, terutama pada saat penetapan tujuan-tujuan program. Oleh karena itu, penting untuk disadari seorang evaluator bahwa kegiatan penilaian program tidak bisa berdiri sendiri terlepas dari kegiatan perencanaan. Apalagi jika penilaian akan dilakukan dengan mempergunakan penekatan yang berorientasi tujuan.
Leave a Reply