Berdasarkan penelitian, Schimmel (1976) menyatakan bahwa beberapa jenis perilaku asertif yang perlu dilatihkan terutama adalah:
1. Berani mengemukakan pendapat, permintaan, kesukaan, dsb, yang menjadikan seseorang dihargai sebagai manusia yang sederajat dengan manusia lain.
2. Mengekspresikan emosi-emosi negatif (keluhan, kebencian, kritik, ketidaksetujuan, rasa tertekan, kebutuhan untuk dibiarkan sendirian) dan menolak permintaan.
3. Memperlihatkan emosi-emosi positif (senang, menghargai, menyukai seseorang, merasa tertarik), memberikan pujian, dan menerima pujian dengan mengucapkan “terima kasih”.
4. Memulai, melaksanakan, mengubah, atau menghentikan percakapan secara menyenangkan, berbagi perasaan, pendapat, dan pengalaman dengan orang lain.
5. Mengatasi ketersinggungan sebelum kemarahan makin meningkat dan meledak menjadi agresi.
Untuk melatihkan dan menerapkan perilaku asertif, ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Mengenali dan menyadari dimana perubahan perlu dilakukan, dan kita harus yakin dengan hak kita.
Mengisi buku diary bisa membantu kita menilai seberapa jauh kita terintimidasi, pasif, malu, atau seberapa jauh orang lain menuntut, memaksa, atau agresif terhadap kita. Ambillah contoh, dimana kita pasif atau agresif.
Beberapa dari kita masih memiliki kelemahan untuk berkata “tidak” terhadap teman yang meminta bantuan, kita tidak bisa memberikan atau menerima pujian, kita membiarkan pasangan atau anak kita menguasai kehidupan kita, kita tidak berani berbicara di depan forum tentang ketidaksetujuan kita, kita malu meminta tolong, kita takut membuat orang lain merasa terhina, dsb. Tanyakanlah pada diri sendiri, maukah kita terus menerus dalam kelemahan ini?
Selain itu, pertimbangkan pula, “darimana nilai-nilai yang kita miliki berasal”. Pada masa kecil, kita biasa dijejali dengan aturan-aturan “jangan emosional, jangan berbuat salah, jangan mementingkan diri sendiri, jangan bilang pada orang kalau kita tidak menyukainya, jangan membantah”, dan banyak lagi aturan lain yang berlawanan dengan apa yang kita inginkan. Aturan-aturan tersebut menjadikan anak, bahkan setelah dewasa, sebagai seorang yang selalu tunduk (submisif). Mungkin beberapa aturan tersebut ada benarnya untuk anak-anak, tetapi selaku orang dewasa, seharusnya tidak membabi buta menerapkan aturan tersebut.
Perlu pula kita sadari, betapa perilaku asertif akan membawa kita menjadi seseorang yang menghargai diri sendiri dan bahagia, dan di sisi lain, betapa tidaknyamannya diri kita menjadi seorang yang submisif, misalnya: 1) kita menipu diri sendiri dan kehilangan harga diri karena didominasi orang lain dan tidak bisa melakukan perubahan, 2) kita dituntut untuk tidak jujur, menyangkal perasaan yang sebenarnya, 3) ketidaksetaraan dan submisif mengancam, jika tidak merusak, rasa cinta dan penghargaan, 4) hubungan yang terjalin dengan orang lain didasarkan pada keberadaan kita sebagai “budak”, “yes man”, “pelayan”, 5) karena harus menutupi perasaan yang sesungguhnya, maka kita harus selalu melakukan manipulasi untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan, dan ini menciptakan kebencian, 6) ketundukan kita membuat penindasan terhadap kita makin menjadi-jadi.
Kesadaran tentang kelemahan, ke-submisifan, dan ketidaknyamanan akibat submisif akan mendorong kita untuk mau mengubah diri menjadi seorang yang asertif. Tapi tentu saja, setiap perubahan biasanya memunculkan kecemasan, dan ini harus diatasi. Kita pun harus meredam konflik dalam diri kita karena melawan nilai-nilai yang selama ini kita anut. Selain itu, juga perlu berbicara dengan orang lain, yang mungkin akan merasa kaget dengan perubahan perilaku yang kita tampilkan. Jelaskan kepada mereka alasan kita menjadi asertif sehingga mereka bisa memahami dan menerima, atau bahkan pada akhirnya, menghargai kita karena menjadi seseorang yang mempertimbangkan mereka, orang lain, dan diri sendiri.
2. Memperhitungkan cara-cara yang sesuai untuk menyatakan diri sendiri dalam setiap situasi khusus yang berkaitan dengan diri kita.
Ada banyak cara untuk mencari respons-respons asertif yang efektif, bijaksana, dan adil. Kita bisa mengamati model/contoh yang baik, mendiskusikan situasi yang bermasalah dengan seorang teman, kolega, konselor, atau orang lain, mencatat dengan teliti bagaimana orang-orang berespons terhadap situasi yang mirip dengan situasi yang sesungguhnya kita hadapi, lalu mempertimbangkan apakah mereka tergolong asertif, submisif, atau agresif. Agar respons kita asertif, maka perlu kita pahami bahwa respons-respons yang asertif terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1) Menjelaskan (kepada orang lain yang terlibat) situasi bermasalah sebagaimana kita melihatnya. Khususkan pada waktu dan tindakannya, bukan memberikan pernyataan yang bersifat umum/ general, seperti “Anda selalu memusuhi…… membingungkan…… sibuk”. Kita harus objektif, jangan menilai seseorang sebagai orang yang buruk secara keseluruhan. Kita juga harus memfokuskan pada perilakunya, bukan pada alasannya.
2) Menjelaskan perasaan kita dengan menggunakan pernyataan “Saya” yang menunjukkan bahwa kita memang bertanggung jawab terhadap perasaan kita sendiri. Kita harus tegar dan menguatkan diri, yakin, menatap mereka, dan tidak emosional. Juga memfokuskan pada perasaan positif yang berhubungan dengan tujuan kita, bukan pada kebencian orang lain. Kadang-kadang bisa sangat membantu bagi kita apabila menjelaskan alasan, mengapa kita memiliki perasaan tertentu, misalnya “Saya merasa…….. karena……….”.
3) Menjelaskan perubahan yang ingin kita buat, mengkhususkan pada tindakan apa yang seharusnya dihentikan dan dimulai. Kita harus meyakin diri kira bahwa perubahan yang diharapkan tersebut masuk akal, kita pun mempertimbangkan kebutuhan orang lain, dan sebaliknya merelakan bahwa kita pun harus berubah. Kita juga harus siap dengan konsekuensi, yaitu bila orang lain ternyata berubah sesuai dengan yang kita harapkan, atau justru tidak berubah. Kita harus menjaga jangan sampai mengancam bila mereka tidak berubah sebagaimana kita inginkan.
Leave a Reply