MANAGEMENT-ORIENTED APPROACH – AsikBelajar.Com. Management-oriented approach merupakan salah sau pendekatan dalam penilaian pendidikan yang memfokuskan pada kepentingan manajerial Oleh karena itu, pendekatan penilaian berorientasi manajemen sangat berarti dalam membantu para pengambil keputusan. Hal ini mengingat pentingnya informasi hasil penilaian sebagai bagian dari pengamblan keputusan yang baik. Artinya, bahwa pengambilan keputusan akan tepat dan berguna jika didasarkan pada informasi-informasi hasil penilaian.
Dalam bidang pendidikan, dengan pendekatan ini dimungkinkan seorang evaluator memberi informasi yang bermanfaat kepada guru, komite sekolah, pengambil keputusan/ birokrasi pendidikan, administrator pendidikan, atau pihak lainnya; sesuai dengan tingkat kewenangan pengambilan keputusan masing-masing. Berdasarkan level kewenangan tersebut menjadi jelas siapa yang akan menjadi pengguna utama hasil-hasil penilaian, bagaimana mereka akan menggunakannya, dan pada aspek-aspek apa mereka akan mengambil keputusan. Aspek-aspek yang menjadi cakupan penilaian dalam pendekatan ini biasanya diklasifikasi berdasarkan komponen system, yakni: input, proses, dan out put.
Untuk mempelajari lebih dalam tentang management-oriented approach akan diperkenalkan pada konsep dasar, cara penggunaan, serta kelebihan dan kelemahan pendekatan ini, khususnya dalam penilaian bidang pendidikan.
Konstributor utama terhadap berkembangnya pendekatan penilaian berorientasi manajemen dalam pendidikan adalah Stufflebeam dan Alkin (1960). Mereka sama-sama menyadari banyaknya kelemahan dari pendekatan penilaian yang selama ini ada. Dengan berlandaskan pada pemikiran-pemikiran terdahulu, seperti Bernard, Mann, Harris, dan Wishburne, mereka memperluas cakrawala dan berfikir sistematis tentang studi-studi administrative dan pengambilan keputusan pendidikan. Selama tahun 1960-1970-an mereka juga mengembangkan wacana berdasarkan pada teori manajemen (seperti, Braybrook dan Lindblom 1963). Baik Stufflebeam maupun Alkin menjadikan keputusan manajer program the pivotal organizer bagi penilaian.
Dalam pendekatan ini, tujuan program bukan menjadi perhatian utama, mereka lebih menekankan pada kebersamaan atara evalutator dan administrator secara erat dalam melakukan penilaian. Mereka bersama-sama mengidentifikasi keputusan-keputusan dimana administrator harus membuat dan kemudian mengumpulkan informasi yang cukup tentang keunggulan dan kelemahan dari setiap alternaif keputusan agar diperoleh keputusan dan pertimbangan yang adil berdasarkan criteria yang spesifik. Oleh karena itu, suksesnya penilaian sangat bergantung pada kualitas tim kerja antara evaluator dan para pengambil keputusan.
Stufflebeam dalam sejarah penilaian ini pada akhirnya mengembangkan apa yang disebut sebagai CIPP Model ( Contex, Input, Process, dan Product Model).
Dilihat dari namanya nampak jelas bahwa pendekatan ini merupakan kerangka kerja penilaian yang bertujuan memberi pelayanan kepada manajer dan administrator program untuk menghadapi empat macam keputusan pendidikan yang berbeda, yaitu:
1) Context Evaluation, melayani keputusan-keputusan pada level perencanaan. Pada level ini lebih menitikberatkan pada upaya menentukan kebutuhan yang akan dijadikan dasar dalam pengembangan program pendidikan, termasuk perumusan tujuan-tujuan program.
Pada era sentralisasi, dimana kurikulum bahkan sampai pada strategi pembelajaran ditentukan oleh pemerintah pusat, nampaknya evaluasi konteks hanya milik orang pusat. Bagi anda yang di era ini berpengalaman dalam bidang pendidikan luar sekolah (atau yang disebut dalam Undang-undang No.20 Tahu 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebut jalur non formal dan informal), mungkin penilaian konteks bukan masalah baru. Hal ini dikarenakan program-program pendidikan luar sekolah lebih banyak ditumbuh-kembangkan dari kebutuhan belajar masyarakat yang ingin mengikuti program. Walaupun istilah yang banyak dipergunakan bukan evaluasi konteks tapi sering disebut analisis atau penilaian kebutuhan (needs analysis atau needs assessment).
Kini di era desentralisasi penilaian konteks ini menjadi penting untuk semua level pengambl keputusan, apakah pengelola pemerintahan pendidikan di tingkat propinsi dan Kabupaten/ Kota atau pengelola satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan formal, in formal maupun non formal. Sebagaimana diketahui bahwa otonomi an desentralisasi pendidikan bermakna: 1) desentralisasi pemerintahan pendidikan kepada Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten/ Kota, serta 2) otonomi pengelolaan satuan pendidikan. Pemberian kewenangan kepada pemerintahan Propinsi maupun Kabupaten/ Kota berimplikasi pada keharusan adanya perencanaan pembangunan pendidikan yang khas sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah otonom. Memperhatikan kewenangan seperti itu, kegiatan evaluasi konteks menjadi amat penting agar perencanaan yang disusun benar-benar berdasarkan pada kebutuhan masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa peran Departemen Pendidikan Nasional sebagai pemerintah pusat dalam pembangunan pendidikan di era desenralisasi lebih banyak dalam menyusun standar-standar, memberi bimbingan teknis dan penjaminan mutu pendidikan. Anda tahu bukan, dalam hal kurikulum KBK pemerintah pusat hanya menetapkan standar kompetensi dan acuan. Bagaimana kurikulum tersebut diimplementasikan di satu sekolah, di sekolah-sekolah Kabupaten/ Kota terrtentu, di sekolah-sekolah Proponsi tertentu, akan bergantung pada masing-masing kebutuhan. Untuk merancang maupun mengevaluasi rancangan program pada masing-masing level keputusan inilah evaluasi konteks sangat penting artinya bagi keberlangsungan pembangunan pendidikan yang lebih baik.
2) Input Evaluation, melayani keputusan-keputusan pada kegiatan pengorganisasian. Menentukan sumberdaya yang tersedia, strategi alternative yang perlu dipergunakan dalam program, serta perencaan yang terbaik bagi pemenuhan kebutuhan, merupakan focus utama penilaian pada level ini.
Jika anda berpengalaman dalam pengelolaan proyek atau paling tidak mengenal dari informasi proyek, unsur input yang paling sering dievaluasi adalah biaya. Apakah biaya yang disediakan untuk suatu proyek mencukupi? Apakah dana yang tersedia itu dialokasikan sesuai komponen-komponen kegiatan proyek yang direncanakan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan contoh fokus evaluasi input. Tentu input program pendidikan bukan satu-satunya biaya, banyak input lain seperti: guru, buku pelajaran, atau lainnya.
3) Process Evaluation, melayani keputusan-keputusan yang berkaitan dengan implementasi program. Fokus utama pada level ini adalah: a) bagaimana rencana yang sudah ditetapkan dapat dilaksanakan secara baik? b) hambatan-hambatan apa yang dihadapi dan menghambat kesuksesan? c) perbaikan-perbaikan apa yang diperlukan? Untuk bisa menjawab hal-hal tersebut perlu dilakukan evaluasi.
Evaluasi terhadap proses disebut monitoring. JAdi monitoring merupakan upaya melakukan evaluasi terhadap proses pelaksanaan suatu program. Jika di lingkungan kerja anda masih kelihatan kegiatan monitoring sebagai kegiatan ’jalan-jalan’ memotret keadaan lapangan saja, sebenarnya itu belum merupakan monitoring yang sesungguhnya. Dalam tataran pengelolaan proyek ada satu istilah yang seolah-olah tidak bisa dirubah atau diperbaiki saking sudah melembaga, yaitu ME (singkatan dari Monitoring dan Evaluasi). Istilah ini tentu tidak salah, tetapi dalam pemaknaan yang diberikan proyek terhadap kegiatan ME seringkali menjadi kurang bermakna. Salah satu contoh pengertian yang banyak di lingkungan proyek adalah: monitoring merupakan kegiatan mengumpulkan data sedangkan analisis dan interpretasi terhadap data dilakukan dalam evaluasi. Pegertian ini memberi makna seolah-olah M dan E adalah sebuah kegiatan yang berurutan. Padahal kalau anda buka kembali modul dan referensi sebelumnya dinyatakan bahwa setiap kegiatan evaluasi paling sedikit selalu megandung 3 (tiga) komponen utama, yaitu: data, kriteria, dan judgment. Jadi, kalau monitoring merupakan evaluasi terhadap proses maka dalam kegiatan monitoring juga harus terjadi proses analisis dan interpretasi terhadap data dibandingkan dengan kriteria, apakah sesuai, kurang atau melebihi.
Jika ingin proporsional, sebaiknya M-E di diposisikan sebagai dua kegiatan penlaian yang diperlukan dalam rangka pengelolaan proyek. Monitoring dilakukan sebagai penilaian teradap pelaksanaan kegiatan (progress), sedangkan evaluasi memrupakan penilaian terhadap hasil proyek.
4) Product evaluation, melayani keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pencapaian program dan kemungkinan perencanaan ulang. Oleh karena itu, focus penilaian ini meliputi: a) hasil-hasil apa yang diperoleh? b) sejauhmana kebutuhan sudah dapat terpenuhi atau berkurang? c) Apa yang harus dilakukan setalah program berjalan seperti itu?
Evaluasi hasil (product evaluation) merupakan kegiatan evaluasi yang selama ini banyak dilakukan. Mungkin keadaan ini berakar pada tradisi memahami langkah-langkah pengelolaan (management) yang selalu menempatkan kegiatan evaluasi, pengendalian, dan istilah lain yang sejalan, pada ahir kegiatan pengelolaan. Sehingga evaluasi yang banyak dikenal adalah evaluasi yang dilakukan jika suatu program sudah berakhir. Ingat di sekolah kita juga masih seperti itu, misalnya ujian akhir semester (untuk mengevaluasi ahir semester), ujian akhir nasional (untuk mengevaluasi akhir program tiap jenjang pendidikan secara nasional), dll. Evaluasi yang hanya memfokuskan pada hasil biasanya identik dengan pendekatan evaluasi yang berorientasi tujuan sebagaimana dikemukakan pada pembahasan sebelumnya.
Dalam evaluasi hasil, biasanya berkembang beberapa focus, yakni: 1) evaluasi yang memfokuskan pada hasil nyata sesuai tujuan program (out-put evaluation), evaluasi terhadap manfaat yang diperoleh dari suatu program (benefit evaluation), dan 3) evaluasi terhadap dampan yang ditimbulkan dari program (impact/ outcome evaluation). Masing-masing bertujuan mengevaluasi hasil program, hanya hasil yang diperoleh antara lain dipengaruhi oleh jangka waktu yang berbeda. Penilaian dampak biasanya dilakukan beberapa lama setelah program berakhir, lain halnya penilaian manfaat mungkin lebih cepat pelaksanaannya daripada penilaian dampak. Sedangkan penilaian out-put biasanya dilaukan langsung setelah program berakhir. Oleh karena itu, penilaian manfaat dan dampak program lebih rumit dan memerlukan pemikiran yang lebih luas dari sekedar scenario program yang sudah dirancang.
Untuk dapat merancang kegiatan evaluasi pada masing-masing level itu, Stufflebeam mengajukan beberapa langkah yang perlu ditempuh sebagai berikut:
1) Membuat Fokus Evaluasi
a) Identifikasi, level keputusan apa yang utama akan dilayani dengan evaluasi tersebut, apakah tingkat local, regional, atau nasional?
b) Untuk tiap level pengambilan keputusan, perkirakan situasi keputusan yang akan dilayani dan gambarkan masing-masing focus, tingkat kekritisan, waktu, dan alternative komposisinya
c) Definisikan criteria untuk masing-masing situasi keputusan dengan membuat: (1) spesifikasi variable untuk kepentingan pengukuran dan (2) standar-standar yang akan digunakan dalam memberi pertimabagan alternative.
d) Definisikan pada area kebijakan mana evaluator harus melakukan seluruh kegiatan penilaian
2) Mengumpulkan Informasi
a) Spesifikasikan sumber-sumber informasi yang akan digunakan
b) Spesifikasikan instrument-instrumen dan metode pengumpulan data yang diperlukan
c) Spesifikasikan prosedur penentuan sample yang akan dilakukan
d) Spesifikasikan kondisi dan jadwal pelaksanaan pengumpulan data.
3) Mengorganisasikan Informasi
a) Sediakan format-format untuk merekap informasi yang akan dikumpulkan
b) Analisis terhadap informasi yang diperoleh
4) Menganalisis Informasi
a) Pilih prosedur analisis yang akan digunakan
b) Tentukan teknik-teknik yang dipergunakan dalam analisis
5) Melaporkan Informasi
a) Definisikan siapa yang menjadi sasaran laporan evaluasi ini
b) Tentukan teknik penyajian informasi yang akan dipakai
c) Tetapkan format laporan
d) Buat jadwal pelaporan
6) Administrasi Evaluasi
a) Rangkum jadwal evaluasi
b) Tetapkan keperluan staf dan sumberdaya serta jadwal pengadaanya
c) Tentukan teknik-teknik untuk mengadakan keperluan-keperluan pelaksanaan evaluasi
d) Menilai rancangan evaluasi yang potensial untuk menyediakan informasi yang valid, reliable, kredibel, tepat waktu, dan pervasive.
e) Menentukan dan mejadwalkan updating rancangan evaluasi secara periodic
f) Menyediakan angaran biaya untuk kegiatan evaluasi program secara total.
Alkin (1969) sebagai Direktur Pusat Kajian Evaluasi di UCLA mengembangkan kerangka kerja evaluasi yang hampir parallel dengan pemikiran yang dikemukakan dalam model CIPP. Kerangka kerja evaluasi ini lebih popular disebut sebagai UCLA Evaluation Model. Secara garis besar, model evaluasi ini terdiri dari lima tipe, yaitu:
1) System Assesment, meyediakan informasi yang berkaitan dengan latar belakang suatu system (identik dengan context evaluation dalam CIPP Model);
2) Program Planning, membantub memilih program-program yang lebih khusus dan mungkin efektif dalam memenuhi kebutuhan pendidikan tertentu (hamper sama dengan input evaluation);
3) Program Implementation, menyediakan informasi tentang: apakah program dilaksanakan untuk kelompok sasaran yang tepat sesuai yang diharapkan;
4) Program Improvement, menyediakan informasi tentang: bagaimana suatu program berfungsi, apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan berusaha untuk terus dicapai, apakah ada hal-hal yang tidak diharapkan muncul (hampir sama dengan process evaluation);
5) Program Certification, menyediakan informasi tentang nlai dari suatu program dan kemungkinannya untuk dipergunakan lebih jauh (sama dengan product evaluation).
Leave a Reply