
Konsep MBS terbukti telah berhasil di negara-negara maju, tetapi masih merupakan konsep baru bagi manajemen pendidikan di negara kita. Oleh karena itu, tidak secara otomatis sempurna. Untuk penyempurnaannya, praktisi pendidikan dapat merevisinya sesuai kebutuhan sekolah.
MBS merupakan salah satu jawaban pemberian otonomi daerah dibidang pendidikan dan telah diundang-undangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah”. Oleh karena itu, MBS wajib diktahui, dihayati, dan diamalkan oleh warga negara Indonesia terutama mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Otonomi daerah terjadi karena melemahnya kekuatan pusat terutama dalam hal pendanaan pembangunan. Sebaliknya, daerah semakin kuat tuntutannya untuk melaksanakan otonomi. Suatu saat, jika kekuatan daerah melemah, maka sentralistik akan terjadi lagi. Jadi, sentralistik dan desentralistik merupakan proses politik yang tidak pernah final.
Artikel ini tidak membahas konsep MBS dan penerapannya secara rinci, karena konsep dan petunjuk pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasinya sudah cukup lengkap di Buku 1 sampai 4 tentang MBS yang diterbitkan Depdiknas (2003), namun mencoba melengkapi hal-hal yang secara substansi dianggap perlu ditambah.
Pustaka:
Usman, Husaini. 2011. Manajemen : Teori, Praktek dan Riset Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara. Edisi Ketiga, hal.623-624.
Leave a Reply