Menurut The Liang Gie (1983), perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi pelaksanaan program dan segi hasil. Apabila ditinjau dari segi pelaksanaannya, sebuah program dapat dikatakan efisien apabila hasilnya dapat dicapai melalui upaya yang sekecil-kecilnya dan sehemat-hematnya. Upaya yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan komponen, seperti tenaga, waktu pelaksanaan, sarana prasarana, dan keuangan. Ditinjau dari segi hasil, penyelenggaraan sebuah program dapat dikatakan efisien apabila dengan usaha tertentu memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya. Sekali lagi dijelaskan bahwa yang dimaksudkan upaya di sini adalah penggunaan komponen, seperti: tenaga, waktu pelaksanaan, sarana prasarana, dan keuangan. Jadi apabila dengan tenaga, waktu, sarana, uang yang cukup dapat menghasilkan suatu produk yang banyak, maka itulah yang disebut dengan efisien. Jika sebaliknya, dengan tenaga, waktu, sarana, dan uang yang cukup menghasilkan produk yang sedikit, maka itulah yang disebut dengan tidak efisien atau inefisiensi.
Perihal sekolah yang baik, ada juga pakar yang mengatakan bahwa manajemen sekolah dilakukan dalam rangka mewujudkan sekolah dasar yang bermutu. Sekolah dasar dapat dikatakan bermutu baik apabila mampu mengemban misinya dalam rangka mencapai tujuan kelembagaannya.
Baca Juga: Karakteristik Sekolah Unggul
Sepanjang perkembangan teori manajemen pendidikan ada dua model teoritik sebagai pendekatan yang sangat berguna dalam menetapkan sekolah yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh Hoy dan Ferguson (1985), yaitu model tujuan dan model sistem. Pertama adalah model tujuan, atau disebut juga dengan pendekatan pencapaian-tujuan. Model tersebut berdasarkan pada pandangan tradisional tentang keefektifan organisasi. Dalam pandangan tradisional organisasi dikatakan efektif apabila ia mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sergiovanni, 1987), sehingga pengukurannya melalui cara melihat tujuan-tujuan operasional yang telah dicapai dari organisasi (Daft & Steers, 1986).
Sekolah pada dasarnya juga merupakan sebuah organisasi. Dengan demikian, sekolah dapat dikatakan baik apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Biasanya tingkat pencapaian ditandai dengan prestasi lulusan sekolah dalam bidang ketrampilan dasar yang diukur melalui tes prestasi terstandar (Frymier, dkk., 1984; Sergiovanni, 1984). Dengan demikian, apabila digunakan pendekatan tujuan, maka prestasi siswa memainkan peranan penting dalam menetapkan baik tidaknya sebuah sekolah. Banyak sekali penelitian tentang keefektifan sekolah dengan menggunakan pendekatan atau model tujuan tersebut, yang menyandarkan penetapannya semata-mata kepada prestasi siswa, sebagaimana diukur melalui tes terstandar sebagai kriteria keefektifannya (Frymier, dkk., 1984; Hoy & Ferguson, 1985; Sergiovanni, 1987). Penelitian terkenal yang dilakukan oleh Edmons (1979), begitu pula oleh Brookover dan Lezotte (1979) tentang keefektifan sekolah dasar merupakan dua contoh di antaranya. Mereka (para penganjurnya) memiliki asumsi bahwa sekolah memang memiliki banyak tujuan. Namun berapapun banyaknya, menurut mereka sekolah tidak akan dikatakan baik oleh siswa, orang tua, dan masyarakat lainnya, selama sekolah tersebut tidak sukses dalam mengajarkan ketrampilan-ketrampilan dasar. Sementara satu lagi bagi popularitas model atau pendekatan tujuan ini adalah kemudahan peneliti dalam mendefinisikan dan mengukur keefektifan sekolah sebagai sebuah institusi (Sergiovanni, 1987). Namun penyandaran penetapan keefektifan suatu sekolah pada prestasi siswa semata, sebagaimana diukur melalui tes prestasi akademik terstandar, telah banyak dikecam. Kelemahan pertama terletak pada pendefinisian keefektifannya yang sangat sempit, dimana keefektifan sekolah diukur hanya dari satu dimensi, prestasi akademik siswa. Kedua, walaupun pendekatan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi yang logis dan dianggap penting, namun keberlangsungannya sangat terancam, sebab dalam rangka menerapkannya sekolah harus dalam kondisi: memiliki tujuan, tujuan tersebut harus diidentifikasi dan didefinisikan cukup tegas sehingga dimengerti dan disepakati oleh kepala sekolah, supervisor, dan guru; dan mereka sendiri harus mampu mengukur perkembangan pencapaiannya. Padahal dalam kenyataan sehari-hari kondisi tersebut sering kali tidak ditemukan di sekolah-sekolah.
Model kedua adalah model sistem, atau disebut juga dengan pendekatan proses atau pendekatan multi-dimensional. Model tersebut berdasarkan pada konsep sistem terbuka, biasa digunakan khususnya oleh para analis yang memandang organisasi sebagai sebuah sistem terbuka yang terdiri dari masukan, transformasi, dan keluaran (Hoy dan Miskel, 1982). Dalam perspektif model sistem keefektifan organisasi dilihat dari bukan tingkat pencapaian tujuannya, sebagaimana dalam perspektif model tujuan di muka, melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan semua sumber yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya. Ada dua asumsi yang mendasarinya. Pertama, organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua, organisasi merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar maka kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna. Berorientasi pada model sistem maka baik tidaknya sekolah dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuannya, melainkan proses dan kondisinya yang disebut dengan karakteristik sekolah. Dalam pada itu ada dua karakteristik sekolah sebagaimana dikemukakan oleh Owens (1987). Pertama, karakteristik internal sekolah, yang meliputi, antara lain: gaya kepemimpinan, proses komunikasi, sistem supervisi dan evaluasi, sistem pengajaran, kedisiplinan, dan proses pembuatan keputusan. Kedua, karakteristik eksternal. Karakteristik eksternal merupakan karakteristik situasi didalam mana sekolah sebagai sebuah organisasi berada dan terletak. Sudah barang tentu yang demikian itu mencakup karakteristik masyarakat, seperti kekayaan, tradisi sosio-kultural, struktur kekuatan politik, dan demografinya.
Model sistem sebagai suatu perspektif dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah banyak dikenal dan diterima oleh peneliti administrasi pendidikan (Sergiovanni & Starratt, 1983). Asumsi mereka adalah bahwa ada hubungan antara karakteristik sekolah dengan kualitas keluaran siswa. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan demikian. Austin (1979) misalnya, dalam penelitiannya menemukan bahwa sekolah-sekolah yang kepemimpinan kepala sekolahnya terlibat dalam pemrograman pengajaran cenderung memiliki siswa dengan prestasi lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang tidak atau kurang memiliki karakteristik tersebut. Sementara Rutter (1979) pada akhir penelitiannya menyimpulkan bahwa iklim dan kepemimpinan sekolah adalah alat yang penting bagi peningkatan kualitas keluaran siswa. Oleh karena itu mereka (para peneliti administrasi pendidikan) menegaskan bahwa kepala sekolah memang bisa mempengaruhi kualitas keluaran siswa, tetapi harus melalui pemberian perhatian sebaik mungkin pada pembinaan proses dan kondisi yang mempertinggi kualitas keluaran siswa.
Walaupun model sistem sebagai suatu pendekatan dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah diterima oleh banyak peneliti administrasi pendidikan, namun model sistem tersebut diduga keras memiliki beberapa kelemahan, terutama apabila diaplikasikan di dalam lembaga pendidikan (Hoy & Miskel, 1982). Pertama, dengan terlalu menekankan pada masukan, alat, dan proses di dalam melihat baik-tidaknya sekolah sebagaimana model sistem, maka masalah keluarannya cenderung terabaikan.
Sejarah perkembangan teori administrasi pendidikan menunjukkan bahwa pada tahun 1960-an begitu banyak perhatian diberikan kepada proses dan alat, seperti iklim sekolah, gaya dan karakteristik kepemimpinan, praktek pembuatan keputusan, dan strategi pemecahan konflik, sehingga dengan tidak disadari topik-topik tentang belajar siswa dan keluaran siswa terabaikan (Sergiovanni, 1987). Kedua, karena memperhatikan peningkatan masukan merupakan tujuan operatif bagi organisasi, berarti model sistem itu pada dasarnya merupakan model tujuan.
Di atas telah dipaparkan dua model teoretik dalam menetapkan sekolah yang baik atau efektif. Kedua model teoretik tersebut memang tampak berbeda. Model tujuan lebih menekankan pada keberhasilan pencapaian tujuan dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah, sementara model sistem lebih memperhatikan karakteristik proses dan kondisi seperti konsistensi internal, kesuksesan mekanisme kerja, dan efisiensi dalam mendayagunakan semua sumber yang tersedia dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah.
Walaupun begitu keduanya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya saling melengkapi satu sama lain, sehingga mungkin dan perlu dikombinasikan yang dapat menghasilkan satu konsep tentang sekolah yang baik. Sergiovanni (1987) pun menganjurkan agar para kepala sekolah, pakar, dan peneliti tidak memilih salah satu di antaranya melainkan keduanya. Lebih lanjut menurut Sergiovanni, apabila pendekatan tujuan dikombinasikan dengan pendekatan sistem, maka siapapun orangnya akan lebih komprehensif dalam memahami kesuksesan sekolah. Berikut ini dikedepankan dua teori yang mengkombinasikan model tujuan dan model sistem. Pertama dikembangkan oleh Parsons (1960) dan kedua dikembangkan oleh Postman dan Weingartner (1979).
Parsons (1960) telah mengembangkan sebuah model keefektifan organisasi yang mengkombinasikan kedua model atau pendekatan tujuan dan sistem di atas. Model Parsons menegaskan bahwa keefektifan organisasi itu dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu: (1) adaptasi; (2) pencapaian tujuan; (3) integrasi; dan (4) latensi.
Asumsi dasarnya adalah bahwa semua sistem sosial, apabila ingin hidup dan berkembang, harus mampu memecahkan empat masalah, yaitu masalah-masalah pengakomodasian lingkungan, penetapan dan pencapaian tujuan, pemeliharaan solidaritas antar komponen sistem, dan penciptaan serta pemeliharaan sistem motivasional dan pola-pola nilai. Menurut Parsons, apabila organisasi mampu menyelesaikan dengan sebaik-baiknya keempat masalah tersebut, maka organisasi tersebut dapat dikatakan efektif atau baik.
Berdasarkan kerangka berfikir Parsons di atas Hoy dan Miskel (1987) mengajukan empat dimensi keefektifan sekolah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi. Dari dimensi adaptasi, baik-tidaknya sekolah dilihat dalam hubungan dengan penyesuaian diri terhadap tuntutan lingkungannya; dari dimensi pencapaian tujuan, baik tidaknya sekolah diukur dengan dicapainya tujuan pendidikan; dari dimensi integrasi, baik-tidaknya sekolah dikaitkan dengan dipertahankannya solidaritas dan kekohesifan unsur-unsur sistem; dan dari dimensi latensi, baik tidaknya sekolah dinilai pada terciptanya dan dipertahankannya komitmen organisasional sekolah.
Dua orang pakar lainnya yang pernah mengemukakan secara lengkap dengan mengkombinasikan model tujuan dan model sistem tentang indikator sekolah yang baik adalah Postman dan Weingartner (1979). Menurut mereka sekolah sebagai institusi memiliki seperangkat fungsi esensial, yang harus dimiliki oleh setiap sekolah. Fungsi-fungsi esensial tersebut meliputi: (1) penstrukturan waktu; (2) penstrukturan aktivitas yang harus diikuti siswa; (3) pendefinisian kecerdasan, kemampuan intelektual, prestasi, dan perilaku yang baik; (4) penilaian; (5) pemisahan peran dan tanggung jawab antara guru dan siswa; (6) supervisi dan pengawasan terhadap siswa; dan (7) pertanggung-jawaban. Di samping fungsi-fungsi esensial, menurut Postman & Weingartner, ada juga konvensi, yaitu prosedur-prosedur yang diikuti sekolah untuk memenuhi ketujuh fungsi esensialnya. Konvensi ini pada dasarnya melayani fungsi-fungsi esensial sehingga fungsi-fungsi esensial tersebut betul-betul membuat sekolah mampu memberikan pengalaman belajar yang berharga bagi siswa. Sebagai contoh adalah penstrukturan waktu yang merupakan fungsi esensial pertama. Setiap sekolah memiliki waktu kapan sekolah mulai dan berakhir. Sekolah juga memiliki waktu kapan aktivitas-aktivitas tertentu dilaksanakan dan waktunya pasti berbeda antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya. Tanpa pengaturan waktu kita tidak memiliki sekolah. Sedangkan konvensi adalah cara-cara khusus di sekolah untuk mengatur waktu sepuluh bulan dalam setahun, enam hari dalam seminggu, enam jam dalam sehari, dan empat puluh menit dalam satu jam pelajaran.
Lebih lanjut, menurut Postman dan Weingartner, konvensilah yang sebenarnya merupakan obyek perubahan organisasional sekolah. Menurut mereka sebuah sekolah dinilai baik apabila konvensinya secara aktual meningkatkan pengalaman belajar yang berharga bagi siswa. Akhirnya berdasarkan semua inilah Postman dan Weingartner mendeskripsikan ciri-ciri sekolah yang baik sebagai berikut.
1. Ditinjau dari penstrukturan waktunya sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a. sekuensi waktu sehari di sekolah itu tidak sewenang-wenang (45 menit untuk ini, 45 menit untuk itu, dan seterusnya), melainkan didasarkan pada apa yang perlu dilakukan siswa;
b. antara satu orang siswa dan siswa lainnya di sekolah tidak diharuskan mengerjakan hal yang sama dalam jangka waktu yang sama;
c. siswa tidak dituntut semata-mata untuk mematuhi waktu dalam pelajaran, melainkan menguasai keterampilan;
d. siswa diarahkan untuk mengorganisasi waktunya sendiri.
2. Ditinjau dari penstrukturan aktivitasnya, sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a. aktivitas-aktivitasnya disesuaikan dengan kebutuhan siswa secara perorangan;
b. antara satu orang siswa dan siswa lainnya tidak dituntut untuk mengikuti aktivitas yang sama;
c. sekolah mengakui bahwa proses belajar mengajar hampir tidak bernilai bagi siswa apabila dirinya kurang dilibatkan di dalamnya;
d. aktivitasnya merupakan aktivitas siswa;
e. aktivitasnya tidak terbatas pada sebuah gedung, melainkan juga mencakup semua sumber pada masyarakat;
f. aktivitas-aktivitasnya memenuhi semua perbedaan latar belakang dan kemampuan siswa.
3. Ditinjau dari pendefinisian kecerdasan, pengetahuan, atau perilaku, sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a. proses belajar mengajar yang dikelolanya lebih menekankan pada proses inkuiri, pemecahan masalah, dan penelitian daripada memorisasi;
b. siswanya dijauhkan dari kebiasaan menerima pelajaran secara pasif;
c. berbagai keterampilan berkomunikasi dilatihkan kepada siswa;
d. kepada siswanya selalu ditekankan untuk menggunakan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar memperoleh ilmu demi ilmu;
e. personilnya mengakui adanya perkembangan pengetahuan di berbagai bidang dan mencoba mempertimbangkannya dalam mendefinisikan pengetahuan;
f. pengetahuan diri sendiri merupakan bagian dari definisi pengetahuannya.
4. Ditinjau dari evaluasi, sekolah dapat dikatakan baik apabila dalam proses evaluasinya:
a. lebih menekankan pada upaya memberikan balikan yang mendorong;
b. digunakan pendekatan yang humanistik dan perorangan;
c. mencakup aspek yang komprehensif;
d. terlebih dahulu dibuatkan seeskplisit mungkin jenis perilaku yang diinginkan sekolah;
e. kurang digunakan tes terstandar;
f. khusus dalam mengevaluasi guru dan administrator digunakan prosedur-prosedur yang konstruktif.
5. Ditinjau dari supervisi dan pengawasan siswa, sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a. guru dan siswanya melakukan upaya-upaya yang kolaboratif;
b. siswanya diberi kesempatan untuk mensupervisi dirinya sendiri;
c. jumlah siswa yang ditangani seorang supervisor tidak banyak, sehingga masalah personalnya bisa ditangani.
6. Ditinjau dari perbedaan peran sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a. semua gurunya selalu mengembangkan ide mengenai masyarakat belajar dimana fungsi guru lebih sebagai seorang koordinator dan fasilitator;
b. berbagai peran mengajar didalamnya tidak dimainkan hanya oleh guru;
c. berbagai peran mengajar diorganisasikan dan kemudian ditugaskan sesuai dengan kemampuan guru;
d. siswanya dianggap bukan sebagai obyek pada setiap aktivitas, melainkan didorong untuk aktif membentuk pengalamannya sendiri;
e. siswa tidak secara konstan ditempatkan dalam peran-peran konpetitif, melainkan juga kolaboratif.
7. Di tinjau dari pertanggungjawaban terhadap masyarakat, sekolah dapat dikatakan baik apabila personelnya:
a. lebih menekankan pada partisipasi masyarakat daripada paternalistik birokratik;
b. tidak takut mempertanggungjawabkan performansinya.
8. Ditinjau dari pertanggungjawaban terhadap masa depan, sekolah dapat dikatakan baik apabila personelnya:
a. memiliki konsep tentang pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diorientasikan pada masa depan;
b. menginterpretasikan tanggung jawabnya pada masa depan sebagai tanggung jawab kepada siswa, baru kemudian kepada institusi sosial.
Leave a Reply