AsikBelajar.Com | Ini adalah artikel yang kami sajikan dari buku Djamarah sebagai berikut:
Inteligensi anak merupakan potensi bawaan yang sering dikaitkan dengan berhasil tidaknya anak belajar di sekolah. Dengan kata lain, inteligensi dianggap sebagai faktor yang menentukan berhasil tidaknya anak di sekolah. Pernyataan ini seperti dikutip oleh Slameto (1991: 130) sangat sejalan dengan pendapat Walter B. Kolesnik (1979) yang mengatakan bahwa:
“In most cases there is a fairly high correlation between one’s IQ, and his scholastis succes. Usually, the higher a person’s IQ, the higher the grades he receives.” #101
Pernyataan di atas memang beralasan, karena pada kasus-Kasus tertentu sering ditemukan. bahwa anak dengan inteligensi yang rendah, di bawah rata-rata normal, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar. Karena cara berpikirnya lambat, anak pun mengalami kesukaran beradaptasi dengan teman-teman sekelasnya. Rendahnya prestasi belajar yang anak dapatkan tidak dapat dihindari. Oleh karena itulah, anak dengan inteligensi yang rendah ditempatkan di kelas-kelas khusus dengan pelayanari khusus pula.
Sebaliknya, pada kasuistik lainnya ditemukan hasil penelitian bahwa anak dengan inteligensi yang tinggi cenderung mengalami kesukaran beradaptasi dengan anak dengan inteligensi rata-rata normal. Hal ini disebabkan anak dengan inteligensi yang tinggi lebih cepat menyerap, mengolah, dan menyimpan bahan pelajaran yang diberikan daripada anak dengan inteligensi rata-rata normal.
Meski kapasitas inteligensi yang berada pada dua kutub yang ekstrem di atas diakui hingga sekarang, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wellman (1945) terhadap 50 kasus studi, seperti dikutip Sunarto (1999: 107), telah disimpulkan bahwa pengalaman sekolah mempengaruhi perkembangan inteligensi. Menurut Wellman, anak yang mengalami ”prasekolah” sebelum sekolah dasar kemajuan yang lebih besar dalam rata-rata IQ mereka daripada anak yang tidak pernah mengalami prasekolah. Semakin lama anak bersekolah di prasekolah, misalnya sampai tiga tahun, maka inteligensi anak dapat berkembang ke arah yang lebih berkualitas. Ini berarti bahwa pengalaman yang diperoleh di sekolah menyumbangkan secara positif terhadap peningkatan IQ anak.
Bagaumana pengaruh lingkungan terhadap perkembangan inteligensi? Pengaruh belajar dalam arti lingkungan terhadap perkembangan inteligensi cukup besar. Hasil penelitian telah menyimpulkan bahwa bagaimana peranan belajar terhadap perkembangan inteligensi.
Jika anak kembar satu telur diasuh bersama dalam lingkungan yang sama, IQ mereka akan lebih mirip sama dibandingkan dengan #102
apabila mereka diasuh terpisah oleh lingkungan yang berbeda. Dalam kasus ini tidak terhadap hubungan genetik, tetapi hasilnya menunjukkan bahwa kesamaan IQ adalah karena kesamaan pengalaman belajar dari lingkungan yang sama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gerber dan Ware (170) telah disimpulkan bahwa semakin tinggi kualitas lingkungan rumah, cenderung semakin tinggi juga IQ anak. Tiga unsur penting dalam keluarga yang amat berpengaruh terhadap perkembangan inteligensi anak yang ditemukan dalam penelitian itu, yaitu:
1. Jumlah buku, majalah, dan materi belajar lainnya yang terdapat dalam lingkungan keluarga.
2. Jumlah ganjaran dan pengakuan yang diterima anak dari orang tua atas prestasi akademiknya.
3. Harapan orang tua akan prestasi akademik anaknya.
Menurut Monks, dan kawan-kawan (1989: 199) dalam bidang psikologi sering dibicarakan mengenai underachiever. Underachiever menunjuk pada seseorang yang memperoleh prestasi-prestasi di bawah kemampuan intelektual (inteligensi) yang ia miliki. Di negeri Belanda dan negara-negara lain ditemukan bahwa kurang lebih 30% dari anak sekolah dasar maupun sekolah menengah adalah underachicver, disebabkan oleh masalah-masalah sosial dan emosional.
Selain itu, masalah ketakutan akan kegagalan juga menjadi penyebab kapasitas intelektual tidak sepenuhnya dapat bekerja. Tetapi menurut hasil observasi Haditono bahwa masalah underachiever di Indonesia disebabkan ,oleh suatu kombinasi banyak faktor. Faktor yang pertama adalah kurangnya fasilitas belajar dalam arti luas di sekolah-sekolah, terutama di pelosok-pelosok, maupun di rumah. Faktor yang kedua adalah kurangnya stimulasi mental oleh orang tua di rumah. Hal ini terutama berlaku bagi para orang tua yang tidak berpendidikan hingga mereka tidak mengerti sendiri bagaimana membantu anak-anak mereka supaya lebih berhasil. Faktor yang ketiga, adalah keadaan gizi yang bilamana dapat dicapai tingkat yang lebih tinggi, maka secara fisik anak lebih mampu untuk menggunakan kapasitas otaknya secara lebih baik. #103
Sumber:
Djamarah, Syaiful Bahri, 2000. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 101-103.
Leave a Reply