
Esensi sifat manusia yan membedakan dengan binatang adalah kemampuan untuk berpikir. Pernyataan ini merupakan pandangan universal tentang sifat manusia pada setiap saat dan tempat (Karier, 1986). Oleh karena itu, pendidikan umum (liberal arts) merupakan pendidikan untuk membebaskan pikiran manusia dari kebekuan pada dirinya sendiri, yaitu suatu pendidikan yang mengajarkan berpikir secara rasional. Pandangan ini dikembangkan dari pemikiran humanisme rasional dari Hutchins dan Adler-yang diambil dari fisafat Thomas Aquinas dan Aristotle tentang sifat manusia-pada Abad Pertengahan, serta dari pandangan humanisme sastra (liberary humanism) pada Zaman Renaissance. Humanisme rasional menekankan pada logika dan penalaran, sementara humanisme sastra menekankan pada retorika dan estetika.
Menurut Aristotle, manusia selalu melakukan aktivitas rasional, dan setiap aktivitas rasional memiliki tujuan tertentu atau kebaikan (Thomson, 1985). Aristotle menyatakan bahwa setiap kiat dan setiap penyelidikan, begitu pula setiap tindakan dan upaya, dipandang memiliki tujuan pada kebaikan tertentu. Dalam pandangan Aristotle, kebaikan (good) dapat didefinisikan sebagai “sesuatu di mana semua hal ditujukan”, dan kebaikan yang agung bagi manusia harus dipelajari. Ilmu yang mempelajari kebaikan agung (supreme good) adalah ilmu politik. Ilmu politik ini memuat subyek-subyek apa yang harus diajarkan dalam negara, serta berbagai-bagai aspek masyarakat yang dipelajari. Dengan kata lain, Aristotle berpendapat bahwa manusia disebut baik apabila manusia tersebut melakukan aktivitas rasional dengan tujuan kebaikan dalam perspektif negara dan masyarakat.
Thomas Aquinas adalah seorang filosof dan teologian berkebangsaan Italia yang hidup tahun 1225-1274. Ia melalukan rekonsiliasi antara pemikiran St. Augustine yang menekankan pada prinsip spiritual manusia dengan Averoisme dari Aristotle yang mengakui otonomi pengetahuan yang diderivasi dari kenyataan. Aquinas menegaskan bahwa kebenaran atas kepercayaan (yang dipertahankan oleh Augustine) dan kebenaran atas kebenaran nyata (yang ditampilkan oleh Aristotle) merupakan hal yang benar-benar kompatibel dan komplementari (Funk & Wagnalls New Encyclopedia, 1986).
Humanisme rasional yang diperkenalkan oleh Hutchins dan Adler yang menitiberatkan pada silogisme logis, metafisik, dan pemikiran universal manusia, secara teoritik lebih dekat dengan gagasan neo-Thomisme Maritian dibanding dengan humanisme sastra klasik dari Babbit dan More. Berlawanan dengan pandangan humanisme rasional, Babbit, More, dan Foerster menolak setiap metafisik absolut dan menyadarkan keyakinannya pada “penalaran” tetapi pada “garis takdir”, yaitu suatu imajinasi intuitif tinggi (Karier, 1986). Foerster menganggap bahwa konsepsi hidup manusia tidak sejalan dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Humanisme ala Foerster berusaha melacak fenomena diluar penalaran (beyond reason) dengan menggunakan intuisi atau imajinasi.
Menurut Karier (1986), perbedaan antara tradisi sastra dan tradisi filosofis dalam humanisme berkembang pada akhir abad pertengahan dan periode Renaissance. Tradisi sastra menekankan pada retorika dengan mengorbankan logika, sedangkan tradisi filosofis menekankan pada logika dengan mengorbankan retorika.
Sumber:
Sohandji, Ahmad. 2012. Manusia, Teknologi, Dan Pendidikan Menuju Peradaban Baru. Malang: Universitas Negeri Malang. (hal.11-13)
Sohandji, Ahmad. 2012. Manusia, Teknologi, Dan Pendidikan Menuju Peradaban Baru. Malang: Universitas Negeri Malang. (hal.11-13)
Leave a Reply