request-free-img

Hakikat Manusia dalam Dunia Pendidikan

Home » Belajar » Hakikat Manusia dalam Dunia Pendidikan

AsikBelajar.Com | Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Itulah mengapa pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. Para ahli telah mengemukakan berbagai pendapat tentang pendidikan, pada umumya mereka sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau diselenggarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke arah yang positif (Dardiri, 2010). Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang melibatkan manusia secara penuh, dilakukan oleh manusia, antar manusia, dan untuk manusia. Dengan demikian berbicara tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. (Khasina, 2013).

Manusia adalah keyword yang harus dipahami terlebih dahulu bila ingin memahami pendidikan (Sardiman, 2007). Socrates mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya adalah belajar tentang manusia. Berdasarkan fakta adanya pertautan yang sangat intim antara pendidikan dan manusia, maka sangat masuk akan apabila kajian dalam mata kuliah pengantar pendidikan ini diawali dengan diskusi atau bahasan menyangkut hakikat manusia itu sendiri. #1

Manusia menurut Socrates adalah makhluk yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu. Kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri lebih dahulu jika ingin mengetahui hal-hal di luar dirinya. Manusia ternyata tidak cukup hanya mengkaji tentang alam sekitarnya, ia selanjutnya juga berpikir tentang Tuhan dan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehidupan. Manusia akhirnya juga berpikir segala sesuatu tentang dirinya, yaitu siapa, bagaimana, dimana dan untuk apa manusia itu diciptakan (Khobir, 1997). Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya (van der Weij, 1991).

Berdiskusi tentang manusia akan selalu menarik dan karena menarik itulah maka masalahnya tidak pernah tuntas laksana sebuah permainan yang tak kunjung usai. Pertanyaan mengenai manusia selalu saja muncul. Hal ini menjadi wajar mengingat manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang menakjubkan, makhluk unik multidimensi, serba meliputi, sangat terbuka, dan mempunyai potensi agung (Nawawi, 1996).

Pertanyaan mengenai “siapakah manusia” tampaknya cukup sederhana, tetapi tidak mudah menemukan jawaban yang tepat, alih-alih memuaskan. Orang umumnya akan menjawab pertanyaan tersebut sesuai latar belakang dan ketertarikanya. Bila ia fokus pada kajian kemampuan manusia berpikir maka ia akan memberi pengertian manusia dengan animal rational, hayawan nathiq, atau hewan yang berpikir/bernalar. Jika ia lebih berfokus pada adanya pembawaan kodrat manusia untuk hidup bermasyarakat, maka tentu memberi pengertian manusia sebagai zoon politicon, homo socius, atau makhluk sosial. Seseorang yang menitikberatkan pada aktivitas manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup, maka pengertiannya adalah homo economicus atau makhluk ekonomi. Sementara itu, bila sudut pandang seseorang lebih pada keistimewaan manusia menggunakan simbol-simbol seperti pemikiran Cassirer, maka tentu pengertian manusia menurutnya adalah animal symbolicum (Basyir, 1984).

Berbeda dengan lainnya, orang yang berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu membuat bentuk-bentuk baru dari bahan- bahan alam untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya, maka pengertian yang diberikan pastilah sama dengan Bergson yaitu homo faber, hewan pembuat perkakas atau tool-making animal (Heschel, 1965). Banyak pakar yang mendefinisikan manusia dengan istilah homo sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi (akal). Revesz menyebut manusia sebagai homo loquen yaitu makhluk yang pandai menciptakan #2

bahasa, menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun. Aristoteles sendiri mengatakan manusia zoon politicon atau animal ridens, makhluk yang bisa humor. Homo religious yaitu manusia pada dasarnya beragama (Pulungan, 1984).

Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal pula definisi tentang manusia yaitu animal educandum, hewan yang memerlukan pendidikan. Tanpa pendidikan manusia tidak mungkin menjadi manusia atau mewujudkan kemanusiaannya. Manusia adalah animal educabili, berarti ia mempunyai potensi untuk dididik atau dikembangkan. Apabila manusia itu dilahirkan sudah sempurna maka manusia tidak lagi memerlukan pendidikan. Manusia diciptakan oleh Maha Pencipta dengan segala kesempurnaannya tetapi juga dilahirkan di dalam berbagai kelemahannya sebagai manusia, oleh sebab itu ia memerlukan pendidikan untuk mewujudkan kemanusiaannya sebagai potensi. Harus diingat pula bahwa proses pendidikan bukan suatu proses satu arah tetapi suatu proses dua arah antara pendidik dan peserta didik. Tugas pendidik adalah tugas yang paling tua di dunia ini sebagaimana tugas seorang ibu sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Jadi hakikat manusia bukan hanya sebagai animal educandum, animal educabili, tetapi juga sebagai animal educator.

Sains modern cenderung memahami manusia dari aspek spasial dan biologisnya sebagai benda dan hewan. Pemahaman ini maksimal menempatkan manusia sebagai “hewan plus”. Jiwa manusia, tak lebih dari metabolisme yang menghasilkan panas dan darah hangat, respirasi paru-paru, otak yang besar, pikiran terus berpetualang, kreativitas tangan, ingatan, mimpi, kehendak, organisasi sosial, kekeluargaan, kesadaran, dan kebudayaan. Ini sejatinya adalah lanjutan dari pemikiran filosofis Aristoteles yang menempatkan manusia sebagai unit dari kerajaan hewan. Manusia dalam Aristotelian “secara kodrati adalah hewan beradab” dan “hewan yang mampu mengumpulkan pengetahuan”, selain sebagai hewan yang berjalan di atas dua kaki, hewan berpolitik, satu-satunya hewan yang punya kemampuan memilih, dan sebagai hewan peniru atau imitative (Nugroho, 2012).
Mengutip pendapat Heschel, lebih lanjut menurut Nugroho (2012) konsep yang tak kalah buruk dari gagasan “manusia adalah hewan plus”, adalah konsep modern bahwa manusia itu mesin. Manusia hanyalah “mesin yang bila kita masukkan makanan ke dalamnya akan memproduksi pikiran”, suatu “rakitan dan karya pertukangan yang #3

ulung”. Pemikiran ini pertama kali dieksplisitkan oleh La Mettrie (1709- 51) dalam L’Homme machine yang menggambarkan aktivitas psikis manusia sebagai fungsi-fungsi mekanis dari otak.

Dalam konteks yang lain, menurut Kosasih (2012) pertanyaan filosofis atau mendasar tentang sosok manusia adalah “What is man, and what of is man made?”Apa dan terbuat dari apa manusia itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut banyak filosof dengan pandangan filsafatnya yang memberikan batasan atau definisi tentang manusia. Sigmund Freud misalnya berpandangan bahwa hakikat manusia sebenarnya bisa ditinjau dari struktur jiwa yang dimiliki yang terdiri dari tiga hal, yaitu das Es, das Ich dan das Uber Ich. Das Es bagian dasar (the Id) yang sama sekali terisolasi dari dunia luar, hanya mementingkan masalah kesenangan dan kepuasan (lust principle) yang merupakan sumber nafsu kehidupan, yakni hasrat-hasrat biologis (libido-seksualis) dan bersifat a-sadar, a- moral a-sosial dan egoistis. Das Ich (aku = ego), sifatnya lebih baik dari pada das Es, das Ich dapat mengerti dunia a-sadar, a-sosial dan a- moral, lebih realistis tapi belum ethis.Yang ketiga das Uber Ich (superego), ini adalah bagian jiwa yang paling tinggi dan paling sadar norma dan paling luhur, bagian ini sering dinamakan budinurani (consciencia). Superego atau das Uber Ich ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, dan religius. #4

Sumber:
Husamah dkk. 2015. Pengantar Pendidikan. Malang: Universitas Muhamadiyah. Hal. 1 – 4.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *