AsikBelajar.Com | Pada jaman penjajahan Belanda telah terdapat upaya-upaya pendirian dan pelaksanaan lembaga-lembaga pendidikan tertentu. Oleh pemerintahan kolonial pada waktu itu masalah pendidikan dianggap penting sehingga dimasukkan dalam Undang-Undang Tahun 1848, dan dianggarkan 25.000 gulden untuk sektor pendidikan. Pada tahun 1851 didirikan sekolah “dokter Jawa” yang didirikan untuk suatu alasan praktis, yaitu melatih kaum pribumi untuk menjadi “mantri cacar” karena ketika itu penyakit cacar sedang mewabah. Tahun 1851 itu juga dibuka dua kweekschool untuk melatih guru bantu bagi sekolah-sekolah modern sistem barat. Pembukaan lembaga-lembaga pendidikan itu, sebagaimana dikatakan oleh seorang tokoh Belanda, adalah untuk “membentengi Belanda dari “vulcano Islam”. Pada tahun 1867 pemerintah kolonial membentuk departemen sendiri untuk masalah mendidikan, yaitu yang disebut Departeman Pendidikan, Agama, dan Industri. Dari pengaturan itu tumbuhlah sekitar 300 sekolah pribumi di Jawa dan sekitar 400 di luar Jawa (Tim Paradigma Pendidikan BSNP, 2010).
Selanjutnya pada tahun 1902 di Batavia dibuka sekolah kedokteran yang dinamakan School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA) dan sekolah sejenis didirikan pula pada tahun 1913 di Surabaya, dinamakan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Pada tahun 1927 STOVIA ditingkatkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama Geneeskundige Hogeschool, bertempat di Jalan Salemba 6, Jakarta. Ini menjadi cikalbakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kemudian didirikan pula Rechtkundige Hogeschool yang menjadi cikal-bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kemudian juga Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte yang menjadi cikal-bakal Fakultas Sastra (kemudian Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia. Technische Hogeschool yang didirikan pada tahun 1920 di Bandung merupakan cikal-bakal Institut Teknologi Bandung, sedangkan Landbouwkundige Fakulteit merupakan cikal-bakal Institut Pertanian Bogor. Adapun Bestuurs Academie yang didirikan tahun 1930-an tentulah merupakan awal dari Institut #106
Pemerintahan Dalam Negeri yang di kemudian hari diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia. Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah hanyalah untuk mencetak pegawai-pegawai berpendidikan yang murah, sehingga pendidikan tersebut tidak memperhatikan pendidikan moral bagi murid- murid pribumi, yang diutamakan adalah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Pendidikan diukur dan diarahkan kepada pembentukan suatu elite sosial untuk selanjutnya dipergunakan sebagai alat bagi kepentingan supremasi politik dan ekonomi Belanda di Nusantara. Kondisi pendidikan semacam ini menggerakkan seseorang dan beberapa badan swasta (di luar pemerintrah Hindia Belanda) untuk mendirikan pendidikan yang juga mengajarkan agama serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Mengingat ciri-ciri pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak memungkinkan bangsa Indonesia untuk menjadi cerdas, bebas, bersatu, dan merdeka, maka kaum pergerakan semakin menyadari bahwa pendidikan yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam program perjuangannya. Oleh karena itu, sejak Kebangkitan Nasional (1908) sifat perjuangan rakyat Indonesia dilakukan melalui berbagai partai dan organisasi, baik melalui jalur politik praktis, jalur ekonomi, sosial-budaya. dan khususnya melalui jalur pendidikan. Sifat perjuangan bangsa kita saat itu tidak lagi hanya menitikberatkan pada perjuangan fisik. Usaha-usaha kaum pergerakan melalui jalur pendidikan demi kemerdekaan dan rintisan ke arah pendidikan nasional tampak jelas. Hampir setiap organisasi pergerakan nasional mencantumkan dan melaksanakan pendidikan dalam anggaran dasar dan/atau dalam program kerjanya (Tatang, 2010).
Djumhur & Danasuparta (1976) mengemukakan bahwa setelah tahun 1900 usaha-usaha partikelir di bidang pendidikan berlangsung dengan sangat giatnya. Untuk mengubah keadaan akibat penjajahan, kaum pergerakan memasukan pendidikan ke dalam program perjuanganya. Lahirlah sekolah-sekolah partikelir (perguruan nasional) yang diselenggarakan para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu mula-mula bercorak dua: 1) Sekolah-sekolah yang sesuai haluan politik, seperti yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa), Dr. Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi (Ksatrian Institut), Mohammad Sjafe’i (INS Kayutanam) dan sebagainya. 2) Sekolah-sekolah yang sesuai tuntutan agama (Islam), seperti yang diselenggarakan oleh: Muhammadiyah (dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan), Nahdlatul Ulama #107
(dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari), Sumatera Tawalib di Padangpanjang, dan lain sebagainya. Selain itu, sebelumnya telah diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh wanita seperti R.A. Kartini (di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus (di Sumatera).
Umumnya dalam buku-buku Pengantar Pendidikan hanya menguraikan dua “aliran” pokok yaitu Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan INS Kayutanam. Mengingat kiprah, pengaruh, dan perkembangnya saat ini maka kami memasukkan pembahasan tentang Gerakan Pendidikan Muhammadiyah. Hal ini didasari pandangan Raharja (2008) bahwa perjuangan pendidikan Perguruan Kebangsaan Taman Siswa, INS Kayutanam dan Muhammadiyah berkembang beriringan dan secara signifikan berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat pada saat itu hingga kini. Gerakan ketiganya sangat berguna bagi masyarakat pada zaman perjuangan melawan penjajah saat itu. Ketiganya secara bersama-sama berupaya untuk membawa para pemuda Indonesia menjadi warga yang tidak buta huruf, membela bangsa dan negaranya, serta mampu mandiri untuk hidup di masyarakat (corak dan ciri nasionalisme). #108
Untuk penjelasannya, silakan klik link di bawah ini:
- Aliran Perguruan Kebangsaan Taman Siswa [Klik Di sini]
- Aliran Pendidikan Ruang Pendidik INS Kayutanam [Klik Di sini]
- Aliran Gerakan Pendidikan Muhammadiyah [Klik Di sini]
Sumber:
Husamah dkk. 2015. Pengantar Pendidikan. Malang: Universitas Muhamadiyah. Hal. 106-126.
Leave a Reply